Puisi adalah Soal Cara Berpikir

Membaca puisi-puisi Afrizal Malna dalam buku puisi termutakhirnya, Buka Pintu Kiri (DIVA Press, 2018), kita berhadapan dengan puisi-puisi yang dengan percaya dirinya meminjam berbagai bentuk mulai dari teks, gambar, desain grafis, hingga foto. Ada sebuah gagasan yang hendak disampaikan dengan digunakannya strategi ini, seperti bahwa puisi sejatinya terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi oleh ruang-ruang konvensional seperti bahasa teks (baca: bahasa dalam wujud teks), terlebih lagi bahasa teks yang terbakukan. Perspektif akan bahasa pun diperluas seiring perluasan bentuk puisi. Setelah membaca puisi-puisi di dalam buku ini, kita bisa mengatakan bahwa bahasa semestinya tidak terbatas pada apa yang tertulis atau terkatakan saja; bahasa bisa juga berwujud gambar atau ruang dan itu artinya bahasa dialami bukan dengan cara dibaca dan didengarkan, melainkan dilihat dan dirasakan.

Simak, misalnya, puisi berjudul “Ketakutan Pada Tempat Berhenti” (hlm. 23-25). Kecuali pada judulnya, puisi ini tidak menghadirkan bahasa dalam wujudnya yang familier dan konvensialbahasa teks; yang dihadirkan justru adalah gambar-gambar berupa lima kotak berisi pintalan garis yang tak beraturan dan pintalan ini mendominasi ruang yang tersedia pada kotak-kotak tersebut, semakin lama semakin dominananggap saja kotak-kotak tersebut berada pada sebuah garis waktu yang linear. Di kotak terakhir, saking dominannya pintalan garis tak beraturan itu, ia justru tak lagi terlihat sebagai pintalan, namun semata warna hitam yang menutupi sebagian besar ruang putihkosong?dalam kotak tersebut. Dan di kotak yang nyaris terisi penuh ini disematkan tanda petik dalam warna putih, dengan jarak yang cukup lebar satu sama lainnyajarak di sini bukan hanya secara horisontal, namun juga vertikal. Tidak ada kata-kata; hanya ada ruang dan tanda baca dan sedikit warna. Tetapi kita tahu betul: puisi ini berusaha mengatakan sesuatu kepada kita.

Tentu saja sebab kita terlampau terbiasa berhadapan dengan bahasa teks, sulit bagi kita untuk menangkap apa yang berusaha dikatakan puisi tersebut, bahkan sulit juga bagi kita untuk sekadar menebak-nebaknya. Dalam hal ini judul si puisi sangat membantu; ia mengatakan dengan cukup jelas bahwa apa yang akan kita hadapi di tubuh puisi tersebut adalah ketakutan si aku-lirikatau si penyairkepada tempat berhentikematian, misalnya. Judul puisi yang berwujud teks dan tubuh puisi yang berwujud gambar menjadi sebuah kesatuan yang tak bisa dipisahkan jika kita ingin menangkap pesan dan maknanya. Keduanya saling melengkapi; bahkan seakan-akan gambar-gambar di tubuh puisi itu adalah perpanjangan yang sempurna dari judulnya. Yang berusaha dikatakan keduanya adalah hal yang sama; media ekspresinya saja yang berbeda.


Bahasa Teks vs. Bahasa Bukan-Teks

Hal serupa kita alami saat membaca puisi-puisi yang tubuhnya berbentuk gambar atau foto seperti “Kesibukan Menghadapi Sudut” (hlm. 77), “Melumerkan Identitas” (hlm. 82), dan “Ketakutan Menatap Harga Rumah” (hlm. 62-63). Dihadapkan pada puisi-puisi ini kita jadi bertanya-tanya apakah bahasa bukan-teks (baca: bahasa dalam wujud bukan teks) lebih kuat dari bahasa teks, bahwa yang disebut pertama mampu memberikan efek yang lebih baik dan membekas di benak pembaca, sehingga Malna selaku si penyair memilih mengandalkan wujud tersebut. Persoalan ini diangkat oleh Malna sendiri dalam sebuah puisinya yang berjudul “Happy New Year” (hlm. 103), yang menggambarkan sesosok manusiaatau serupa manusiatengah berbaring di atas ranjang dan di sepanjang tubuhnya berdiri–atau melekat?–kalimat ini: can word actually heal?, dan jauh di bawahnya tiga tangkai mawar yang tengah mekar. Apakah kata-kata bisa benar-benar menyembuhkan kita? Apakah bahasa teks bisa benar-benar menyembuhkan kita? Mungkin jawabannya adalah tidak. Mungkin bahasa bukan-teks-lah yang lebih bisa menyembuhkan kita. Dan karena itulah Malna, selaku si penyair, berusaha mengeluarkan puisi dari kerangka teks yang membatasinya.

Namun bukan berarti Malna menilai puisi yang mengandalkan bahasa teks itu buruk. Kerangka teks memang membatasi puisi tetapi bahkan dalam wujudnya yang terbatasi ini pun puisi masih bisa memikat kita, masih bisa menggetarkan hati kita, bahkan masih bisa menyembuhkan kita. Itulah kenapa di buku puisinya ini Malna juga menghadirkan puisi-puisi yang sepenuhnya berwujud teks, dengan pengolahan yang terasa intens. Di puisi berjudul Buka Pintu Kiri (hlm. 92-93), misalnya, ada kalimat ini: lelaki itu butuh hiburan, atau semacam kamar hotel yang menabrak tiang listrik. Bisa kita lihat bahwa betapa sesuatu yang dianggap menghibur nyatanya bisa juga sesuatu yang destruktif, yang erat dengan kekerasan dan kehancuran, dan bahkan kematian; dengan ini hiburan itu sendiri menjadi sesuatu yang sangat problematis dan paradoksal. Atau di puisi berjudul “Masakini Menunggu Jam 1 Siang” (hlm. 80), di mana ada kalimat ini: waktu terus mengambil sisa-sisa berat badanku. Kali ini kita dihadapkan pada betapa gelap dan absurdnya realitas itu, bahwa kita senantiasa tidak berdaya di hadapan waktu sampai-sampai kita bahkan tak bisa memintanya untuk berhenti mengambil sisa-sisa berat badan kita, atau sekadar meminta kebersediaan kita saat mengambilnya. Pengolahan bahasa teks yang intens, yang bukan saja penuh perhitungan namun juga melahirkan kedalaman. Memang mungkin puisi yang mengandalkan bahasa bukan-teks lebih kuat dan lebih bisa menyembuhkan kita, tetapi puisi yang mengandalkan bahasa teks pun bukannya tanpa kekuatan; sampai taraf tertentu ia tetap bisa hadir sebagai sesuatu yang berharga dan menghantam kita.


Puisi Lebih ke Soal Cara Berpikir Ketimbang Bahasa

Dengan sekaligus menghadirkan puisi-puisi yang mengandalkan bahasa teks dan bukan-teks, Afrizal Malna sebenarnya juga berusaha menyadarkan kita bahwa, pada akhirnya, puisi bukanlah soal bahasa. Dalam kata pengantarnya di buku ini Malna memang tak memungkiri bahwa bahasa teks adalah medium utama puisi, namun strategi yang kemudian dipilihnya membuat kita paham bahwa asumsi tersebut adalah sesuatu yang terlahir dari tradisi puisi, sedangkan tradisi sendiri bukannya tak bisa dikhianati dan dilampaui. Dalam hal ini Malna membenturkan tradisi puisi yang didominasi oleh bahasa teks dengan tradisi tubuh si penyair yang didominasi oleh bahasa bukan-teks, sehingga lahirlah puisi-puisinya tadi. Bahasa memang medium utama puisi, tetapi bahasa di sini adalah bahasa dalam pengertiannya yang jauh lebih luas. Dan sebab posisi bahasa dalam puisi hanya sebagai medium, maka jelaslah pada akhirnya puisi bukan soal bahasa, bahkan tidak pernah soal bahasa.

Ketimbang soal bahasa, puisi lebih ke soal cara berpikir. Yang ditawarkan Malna lewat bukunya ini sesungguhnya adalah cara berpikirnya, di mana ia berupaya meluaskan puisi dengan cara membenturkan tradisi puisi dengan tradisi si penyair, di mana perspektif sempit kita akan bahasa dihantamnya dengan perspektif yang lebih baik, yang menurutnya lebih tepat. Bisa juga dikatakan bahwa Malna menawarkan kepada kita sebuah perspektif di mana ketika kita menulis puisi kita tidak menulis dalam pengertian konvensional, melainkan menulis dalam arti yang luas, termasuk di antaranya menggambar dan mendesain. Jika ketika menulis puisi biasanya seseorang berpikir dengan teks, Malna justru berpikir dengan gambar, atau ruangsesuatu yang bukan-teks.

Dan cara berpikir ini bahkan terasa juga dalam puisi-puisinya yang mengandalkan bahasa teks. Simak, misalnya, dua kalimat pembuka puisi berjudul “Arsip Kegelapan” ini (hlm. 54): dia meninggalkan kakinya di luar untuk berjalan ke dalam: ginjal, empedu, jantung, sebuah ruang tamu dan seseorang yang tak pernah ada. dia meninggalkan kepalanya di dalam untuk berjalan ke luar: lemari, bantal dengan sisa rambut, sabun mandi dan bau sperma dari tubuh yang tak pernah ada. Memang sepenuhnya ini adalah bahasa teks, tetapi ketika divisualisasikan ia justru lebih condong kita alami sebagai bahasa bukan-teks; ketika menulis kalimat-kalimat ini Malna seperti sedang menggambar atau mengatur ulang frame, atau menyusun benda-benda, atau sekadar menampilkan foto-foto. Dan lewat bahasa bukan-teks inilah pesan dan makna itu tersampaikan.

Jadi, kiranya jelas: di mata Malna puisi adalah soal cara berpikir; puisi lebih ke soal cara berpikir ketimbang bahasa. Dan Buka Pintu Kiri, tak pelak lagi, merepresentasikannya dengan sangat baik.(*)

Bogor, 25 Februari 2019

2 responses to “Puisi adalah Soal Cara Berpikir”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *