Di masa-masa jayanya, para penulis webnovel bisa mendapatkan belasan hingga puluhan juta rupiah tiap bulannya, dan itu berlangsung untuk rentang waktu yang terbilang panjang. Ini tentu sebentuk kenikmatan yang patut disyukuri oleh mereka; mereka memperoleh pendapatan yang sepadan atas kerja keras dan jerih payah mereka dalam menulis dan menerbitkan bab demi bab tiap harinya. Pertanyaannya: bisakah para penulis buku cetak merasakan kenikmatan yang sama?
Sebelum menjawabnya, kita coba telusuri dulu kenapa rata-rata pendapatan bulanan para penulis webnovel bisa sebesar itu. Sedikit-banyak, ini adalah buah dari sistem yang ada di industri tersebut.
Sistem yang berjalan di industri webnovel memang memungkinkan hal tersebut terjadi. Pertama-tama, pembeli didesak untuk melakukan pembelian bab demi bab, dengan harga yang sekilas terkesan murah, dan ketika si penulis berhasil mendesak pembaca untuk terus membeli bab-bab berbayar di bukunya maka pendapatan yang dia peroleh dari buku tersebut akan terus bertambah. Dan tak ada batasan soal berapa bab bisa diunggah dan diterbitkan oleh si penulis untuk satu buku. Sejumlah webnovel bahkan telah mencapai ribuan bab dan masih terus dilanjutkan, dan masih terus diikuti oleh banyak pembacanya. Bayangkan berapa banyak uang yang bisa diperoleh si penulis dari pembelian bab-bab berbayar di buku-bukunya itu setiap bulannya.
Terkait hal ini, si penulis berutang pada sistem rekomendasi yang diterapkan di platform digital yang menayangkan bukunya itu. Agar pembaca yang membeli bab-bab berbayar bukunya terus bertambah, buku tersebut harus tereskpos secara reguler, khususnya di posisi-posisi strategis yang lebih mudah ditemukan pembaca. Adanya sistem rekomendasi seperti ini memungkinkan sejumlah buku dilihat oleh jutaan orang. Kalaupun dari total jumlah tersebut yang benar-benar membaca buku hanyalah 10 persennya saja, itu sudah jumlah yang banyak. Dan jika modal berupa jumlah pembaca ini dibarengi oleh kualitas bab-bab berbayar, bisa dipastikan, pendapatan bulanan yang diperoleh si penulis sangatlah besar.
Dan di sini kita masih belum bicara soal sumber-sumber pendapatan lain di luar pendapatan dari penjualan bab berbayar. Sejumlah platform digital menyelenggarakan kompetisi dengan total hadiah puluhan hingga ratusan juta rupiah, dan tentu sebagian penulis cukup beruntung untuk mendapatkannya. Ada juga bonus-bonus seperti bonus buku tamat atau bonus buku baru atau bonus keteraktifan dan jumlah kata. Ketika si penulis berhasil mendapatkan semuanya, pendapatan bulanannya akan jadi jauh lebih besar lagi. Dan ada juga hadiah pembaca yang, jika cukup banyak, bisa juga memberikan peningkatan sgnifikan terhadap pendapatan bulanan yang bisa ditarik oleh si penulis.
Sederhananya, sistem yang bekerja di industri webnovel memungkinkan tersedianya “sumur-sumur yang bisa dikuras habis airnya”. Tentu saja tidak semua penulis webnovel mampu melakukannya; kebanyakan hanya bisa memperoleh sedikit saja meski telah bekerja keras menulis dan menerbitkan bab setiap harinya. Akan tetapi, mereka yang mampu melakukannya jumlahnya terbilang banyak. Beberapa dari mereka bahkan ada juga yang pernah mendapatkan ratusan juta rupiah tiap bulannya.
Sekarang mari kita coba bayangkan sistem tersebut diterapkan di industri buku cetak. Kita membayangkan ini sebab kita berasumsi bahwa para penulis buku cetak pun bisa saja memperoleh pendapatan bulanan sebesar itu apabila buku-buku mereka ditawarkan kepada pembaca dengan cara yang sama. Pertanyaannya: apakah hal itu mungkin dilakukan?
Berbeda dengan webnovel yang ditawarkan kepada pembaca bab demi bab, buku cetak ditawarkan kepada pembaca sebagai satu buku utuh, di mana orang mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli buku tersebut secara keseluruhan, sampai ke halaman terakhirnya. Akibatnya, uang yang harus digelontorkan di awal oleh pembaca untuk bisa menikmati buku tersebut terkesan lebih besar, dan ini sebuah kelemahan. Pembaca di platform digital umumnya menghendaki mereka bisa membaca beberapa buku sekailgus apabila di awal harus menggelontorkan uang yang cukup besar, di mana harus ada opsi untuk bisa berhenti membeli sisa bab sebuah buku apabila ceritanya atau penyajiannya dinilai kurang oke. Untuk bisa bertahan di platform digital dengan sistem penjualannya yang khas itu, buku cetak yang didigitalkan harus terlebih dahulu melalui proses penyesuaian dalam hal konten. Paling tidak, bagian-bagiannya itu harus bisa dijual secara terpisah, dan ada strategi tertentu dari si penulis (atau penerbit) untuk mendesak pembaca membeli bagian-bagian setelahnya.
Setelah hal tersebut dilakukan, ada hal penting lainnya yang harus diperhatikan: kemasan buku. Di sini kita bicara soal judul, desain sampul, dan sinopsis–bisa juga blurb. Pembaca di platform digital memiliki selera dan kecenderungan yang berbeda dengan pembaca buku cetak. Dan tentu saja, supaya buku cetak yang didigitalkan itu menarik sebanyak mungkin perhatian pembaca, kemasannya ini pun, sebisa mungkin, disesuaikan dengan selera pembaca di platform digital. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat karya sastra dalam wujud buku cetak biasanya sangat memperhatikan estetika dan idealisme, termasuk dalam hal bagaimana buku dikemas. Mempertemukan estetika dan idealisme dengan selera pasar adalah hal yang pelik. Negosiasi harus ada, adaptasi harus dilakukan, barulah dampak positif akan dirasakan oleh buku dan penulis. Jika penulis (dan penerbit) bersikeras dengan pilihan estetika dan idealismenya sendiri, risikonya adalah buku tidak akan begitu bisa menarik perhatian pembaca meskipun ia telah coba direkomendasikan di beberapa posisi yang strategis.
Dan terkait sistem rekomendasi, bisa dibilang, hal inilah yang sangat dibutuhkan oleh karya-karya sastra. Para penulis karya sastra kerap mengutarakan kegelisahan mereka mendapati ruang-ruang tayang untuk karya sastra semakin berkurang, sedangkan dengan adanya ruang-ruang itu pun kesempatan tampil bagi karya-karya sastra sebenarnya sangat terbatas. Dan ketika kemudian muncul ruang-ruang baru, termasuk ruang-ruang dalam wujud website yang bisa diakses secara daring oleh siapa saja, kebanyakan, nyatanya tidak mampu memberikan “apresiasi” yang layak kepada penulis, yang pada akhirnya menjadi masalah tersendiri. Biar bagaimanapun, seseorang menulis karya sastra pada dasarnya adalah juga untuk mendapatkan (tambahan) uang, sehingga idealnya memang ada ruang-ruang yang bukan saja memberi ruang tampil yang maksimal bagi karya-karya sastra, melainkan juga membuat si penulis memperoleh “apresiasi” yang layak. Dalam hal inilah, sistem rekomendasi yang ditawarkan oleh platform-platform digital khusus untuk webnovel jadi sesuatu yang menggiurkan. Bayangkan saja, di sebuah platform digital yang telah diunduh oleh jutaan orang, karya-karya sastra ditayangkan secara bergilir dan berkala, dan tersedia saluran-saluran untuk memberikan “apresiasi” kepada si penulis. Bukan saja menulis dan menerbitkan karya sastra bisa memberikan penghidupan yang layak bagi si penuils, karya-karya sastra kita pun bisa lebih dikenal di tanah air, termasuk oleh mereka yang selama ini hanya menjadi pembaca di platform digital saja.
Setelah mencoba membayangkannya, kita rupanya mendapati bahwa tersedianya platform digital khusus untuk karya sastra sesungguhnya dimungkinkan. Akan tetapi, tantangannya berat. Pasalnya, ini seperti kita mencoba menawarkan karya sastra ke publik yang selama ini peduli tidak peduli terhadap karya sastra, dan dari segi bisnis, ini bisa jadi bukan sesuatu yang menjanjikan. Kalaupun adaptasi-adaptasi mengenai konten dan kemasan buku tadi diterapkan, tidak lantas berarti karya-karya sastra yang didigitalkan itu akan disambut dan diterima dengan baik oleh pembaca di platform digital. Mereka, bagaimanapun, kadung memiliki ekspektasi terhadap buku-buku yang akan mereka beli. Sesuatu yang tidak mungkin bisa kita ubah dengan mudah dan dalam waktu singkt.
Tetapi mungkin, ada satu strategi yang bisa kita coba, yakni dengan memberi ruang tampil bagi karya-kara sastra yang terdigitalkan itu di sebuah platform digital, tetapi hanya sebagai bonus saja. Produk utama yang ditawarkan oleh platform digital itu tetaplah webnovel yang sudah terbukti disambut dan diterima oleh pasar yang ada, hanya saja kita buat sistem untuk mengarahkan para pembaca di sana agar mereka mencoba-coba melihat-lihat karya-karya sastra yang ditayangkan di platform tersebut. Adapun soal penjualan karya-karya sastra itu sendiri, bisa disesuaikan harga per babnya; dan sesekali perlu juga karya-karya sastra ini diberi kesempatan untuk tampil di promosi pop up atau push, juga mungkin diiklankan di Facebook, Instagram, TikTok atau media sosial lainnya, meski tidak akan begitu menghasilkan. Sistemnya, dalam hal ini, mirip dengan subsidi silang. Kita tak bisa berharap banyak pada penjualan karya-karya sastra ini di platform digital tersebut untuk bulan-bulan awal, tapi paling tidak lambat-laun para pembaca (yang kadung terbiasa membaca) webnovel itu mulai terbiasa membaca karya sastra.
Seiring berjalannya waktu, jika hal tersebut benar-benar kita coba, siapa tahu negosiasi-negosiasi terus terjadi, adaptasi-adaptasi terus dilakukan, dan akhirnya sampai jugalah pada satu titik di mana dua industri ini benar-benar bertemu di titik terbaiknya, dan dengan sendirinya para penulis karya sastra pun akan sejahtera–mereka akan bisa dengan bangga dan percaya dirinya mengatakan kalau sastrawan adalah sebuah profesi, kalau mengabdikan diri untuk menulis karya sastra bisa memberi mereka penghidupan yang layak. Sesuatu yang masih sangat utopis, memang, tetapi kiranya layak untuk dibayangkan. Dan semoga saja ada orang-orang tajir-melintir di negeri ini yang cukup gila untuk mau bertaruh pada strategi ini. Akan lebih baik lagi jika mereka, selain penikmat karya sastra, adalah juga penikmat webnovel.(*)
Jakarta, 2023
Catatan:
Kwikku sebenarnya sudah mencoba memberi panggung pada karya-karya sastra dalam bentuk buku cetak yang didigitalkan, di mana pembelian terhadap buku-buku tersebut bisa dilakukan per bab atau per bagian. Hanya saja, dari segi popularitas, Kwikku masih kalah jauh dari platform-platform webnovel seperti GoodNovel dan Fizzo. Ini karena mindset dan strategi mereka yang keliru. Di Kwikku, produk utama yang dijual adalah karya-karya sastra, adalah buku-buku cetak yang didigitalkan itu, sehingga platform ini pun sulit menjaring kebanyakan pembaca yang adalah pembaca webnovel. Mestinya, yang produk utama yang dijual Kwikku adalah webnovel; jadikan karya-karya sastra itu sebagai bonus saja–setidaknya untuk saat ini.
One response to “Membayangkan Platform Digital Khusus untuk Karya Sastra”
You have noted very interesting points! ps decent web site.Blog money