Sering kita mendengar pernyataan bernada patriarkis dan misoginis bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Pernyataan ini tak jarang diikuti pernyataan lain yang sama patriarkis dan misoginisnya, yaitu bahwa perempuan akan aman jika berada di rumah. Di sini perempuan seolah-olah diposisikan sebagai pusat, sebagai subjek. Padahal kenyataannya justru sebaliknya.
Mudah sekali untuk membuktikan betapa kelirunya kedua pernyataan tersebut, juga betapa cacatnya pola pikir orang-orang yang mengamininya. Dengan mengatakan bahwa tempat perempuan adalah di rumah, seseorang sebenarnya sedang melanggengkan pembagian fungsi dan peran berdasarkan gender, bukan berdasarkan kualitas dan kapasitas; ia dengan kata lain terjebak dalam seksisme. Sementara itu dengan mengatakan bahwa perempuan akan aman jika berada di rumah, yang berarti ia tidak akan aman jika berada di luar rumah, sesungguhnya ia sedang mengatakan bahwa lingkungan sosial di mana si perempuan tinggal sangatlah tidak sehat. Lucunya justru si perempuanlah di sini yang dituntut untuk mengalah dan memperbaiki diri, bukannya lingkungan di mana ia berada itu.
Katakanlah benar bahwa seorang perempuan di sebuah kawasan merasa tidak aman ketika berada di luar rumah. Ia rentan menjadi korban catcalling atau pelecehan seksual lainnya, atau bahkan pemerkosaan. Dalam hal ini yang mestinya disorot adalah lingkungan tersebut, bukan si perempuan. Lingkungan tersebut harus dibenahi hingga ia sampai pada tahap di mana si perempuan akan merasa aman ketika ia berada di luar rumah, baik itu pagi hari atau siang hari atau malam hari, baik itu seorang diri atau bersama pasangannya atau bersama siapa pun, baik itu dengan pakaian yang tertutup atau terbuka atau sangat terbuka. Si perempuan sebagai pihak yang terancam harus diposisikan sebagai subjek dalam arti kita melihat persoalan ini dari kacamatanya. Yang salah bukan si perempuan, tetapi lingkungan di mana ia berada.
Lagipula anggapan bahwa seorang perempuan akan aman jika ia berada di rumah juga keliru. Ada banyak sekali kasus di mana seorang perempuan menjadi korban KDRT dan itu terjadi di dalam rumah, dengan pelakunya adalah orang-orang terdekatnya sendiribisa suaminya, bisa mertuanya, bisa orangtuanya sendiri, ataupun yang lainnya. Dan yang lebih lagi parah dari itu adalah banyak perempuan juga diperkosa di rumahnya sendiri, berkali-kali, dan mereka kesulitan menyeret kejahatan ini ke ranah hukum karena kadung dipercaya bahwa rumah adalah tempat perlindungan bagi perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa sudut pandang yang selama ini dipakai masyarakat untuk melihat persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan bukanlah sudut pandang perempuan (korban) melainkan sudut pandang sistem yang telah sangat diracuni oleh patriarki (pelaku). Dan kekeliruan ini, tentu saja, harus dipersoalkan.
Perempuan sebagai Subjek, Perempuan sebagai Korban
Itulah kurang-lebih yang coba dibahas Dea Safira dalam esai-esainya yang terkumpul di Membunuh Hantu-Hantu Patriarki (Jalan Baru, 2019). Perempuan dikembalikan ke posisi awalnya sebagai individu yang berdiri sama tinggi dengan laki-laki; yang memiliki nilai tawar yang juga tinggi dalam relasinya dengan sistem-sistem yang mencoba mengopresinya. Di sebuah esai, Dea menekankan bahwa seorang perempuan memiliki otoritas atas tubuh dan penampilannya sendiri sehingga upaya-upaya untuk merespons kedua hal ini haruslah selalu mempertimbangkan kenyamanan si perempuan. Di esai lain, Dea mempersoalkan keengganan masyarakat kita untuk menyelami persoalan-persoalan biologis yang dialami perempuanmenstruasi, misalnyadan bagaimana persoalan-persoalan ini terkait dengan realitas industrial yang digerogoti kapitalisme. Di esai lainnya lagi, Dea mengingatkan para perempuan untuk tidak memosisikan diri sebagai pihak yang inferior ketika harus berhadapan dengan laki-laki bule terutama mereka yang selain misoginis juga rasis.
Esai-esai Dea ini pada dasarnya adalah respons (cepat) darinya atas wacana-wacana yang mencuat ke permukaan di era digital. Sebagai respons, esai-esai tersebut terbilang pendek dan tak cukup menawarkan kedalaman, dan itulah barangkali salah satu kelemahannya. Tetapi di beberapa esai terlihat upaya untuk mencapai kedalaman tersebut, yakni dengan menjelaskan bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi perempuantermasuk persoalan-persoalan di ruang privatberkaitan erat dengan persoalan-persoalan lain di tingkat suprastruktur, yang sifatnya struktural atau sistemik. Ini berarti ketika kita mencoba memperjuangkan emansipasi perempuan kita mau tak mau akan berhadapan juga dengan persoalan-persoalan tersebut. Perjuangan perempuan dengan demikian adalah perjuangan kolektif; perjuangan lintas gender, lintas profesi, dan lintas kelas. Membantu perempuan memperoleh hak-hak mereka (kembali) sejatinya adalah tugas bagi siapa pun itu yang telah terbangkitkan kesadarannyabaik itu kesadaran sosial, kesadaran gender, kesadaran filosofis, maupun kesadaran lainnya.
Memosisikan perempuan sebagai subjek, sebagai pihak yang bersuara, adalah strategi yang dipilih Dea di esai-esainya ini. Dalam hal ini ia kerap menjadikan dirinya sebagai representasi dari para perempuan di negeri ini; beberapa kali ia bahkan membagikan pengalaman pribadinya sendiri sebagai contoh kasus. Dea berbicara atas nama perempuan Indonesia, khususnya mereka yang selama ini menjadi korban dari melembaganya patriarkidan kapitalisme. Seringnya pihak yang ia serang adalah laki-laki, tepatnya laki-laki yang selain patriarkis juga misoginis. Namun, untuk beberapa kasus ia juga menyerang sejumlah perempuan; mereka yang tak menyadari bahwa kendatipun mereka bersuara sebenarnya mereka bersuara atas nama patriarki atau dalam kendali patriarki.
Yang terakhir ini menarik untuk dicermati lebih jauh. Perempuan berseteru dengan perempuan, sedangkan yang sedang coba diwujudkan adalah realitas yang jauh lebih baik bagi perempuan. Ada semacam jurang yang memisahkan para perempuan di kubu satu dengan para perempuan di kubu lain. Jurang ini sendiri dibentuk oleh patriarki (dan kapitalisme) atau terbentuk sendiri begitu saja sebagai dampak buruk dari sistem tersebut. Tugas seorang feminis seperti Dea adalah melenyapkan jurang ini, atau paling tidak membangun semacam jembatan yang bisa menghubungkan kedua kubu ini sehingga akhirnya mereka bersatumelawan patriarki (dan kapitalisme). Tugas ini disadari betul oleh Dea; karena itulah sikapnya terhadap para perempuan yang berbeda kubu dengannya itu masih relatif lunak. Kasusnya berbeda ketika yang diserang oleh Dea adalah laki-laki.
Feminisme Kontemporer, Bias Gender, dan Bagaimana Patriarki Bekerja
Meskipun Dea tidak anti-laki-laki (baca: ia mengaku pernah menjalin hubungan percintaan dengan beberapa laki-laki), dari cara pandangnya terhadap laki-laki dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, terlihat sekali bahwa kecenderungan ke arah sana sebenarnya ada. Dea begitu keras menyerang laki-laki yang dianggapnya gagal memahami bahwa mereka adalah budak-budak patriarki (dan kapitalisme), bahwa mereka adalah tangan kanan patriarki (dan kapitalisme) yang selama ini menghambat perempuan untuk menjadi diri-optimalnya. Memang Dea tidak menampik bahwa di sebuah realitas yang patriarkis ada juga laki-laki yang menjadi korban, dan ia mendorong kita untuk juga mempersoalkannya. Tetapi Dea sendiri seperti menahan diri untuk tidak benar-benar membahas kasus-kasus tersebut; dan ia pun cenderung hanya mengangkat kasus-kasus di mana yang berada di posisi korban adalah perempuan. Seolah-olah di mata Dea laki-laki selalu menjadi pelaku dalam relasinya dengan perempuan di mana persoalan-persoalan itu muncul.
Selain itu, Dea juga kerap menggunakan kata misogini atau misoginis, tetapi tidak pernah–atau jarang sekali–menggunakan kata misandri atau misandris, seolah-olah yang dua-terakhir ini tidak ada di realitas yang kita hadapi. Melihat hal ini sebagai simbol, sebagai sesuatu yang tertanam di alam bawah sadar esai-esainya itu, kita bisa mengatakan bahwa bias gender di dalam diri Dea masih sangat kuat. Ia masih belum bisa melihat perempuan dan laki-laki sebagai dua gender yang setara. Ia masih melihat perempuan dan laki-laki dalam kerangka gender yang dibentuk oleh patriarki namun ia mengambil posisi yang berlawanan. Katakanlah, seperti ia bertaruh kepada oksidentalisme, sedangkan yang diserangnya adalah orientalisme.
Bias gender ini tentu saja mengganggu, dan sejatinya tidak sejalan dengan feminisme kontemporer. Womanisme telah lahir beberapa dekade lalu dan ini menandai era baru feminisme. Jika sebelumnya feminisme membatasi dirinya hanya pada persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki patriarkis atau sistem patriarki itu sendiri, kali ini lebih luas lagi dari itu. Kata perempuan dan laki-laki/patriarki di situ menjadi metaforis, di mana yang pertama merujuk ke pihak yang diopresi/teropresi sedangkan yang kedua merujuk ke pihak yang mengopresi. Di saat yang sama, feminisme tidak memosisikan laki-laki sebagai musuh atau rival, melainkan rekan, pihak yang bisa diajak bekerja sama dalam mewujudkan emansipasi dan keadilan sosial. Dengan adanya perluasan ini feminisme bisa masuk ke sejumlah banyak persoalan lain di mana patriarki bukanlah persoalan utamanya; yang penting di situ ada pihak yang ditindas/tertindas dan pihak yang menindas. Di saat yang sama, feminisme pun akhirnya bisa keluar dari bias gender yang selama beberapa dekade sempat mengekangnya dan membatasinya.
Maka bias gender yang masih ada dan terasa kuat di esai-esainya Dea itu, sedangkan Dea sendiri seorang feminis, menjadi paradoks tersendiri. Kita tentu mengharapkan tawaran yang lebih matang tentang feminisme dan esai-esainya Dea bisa dibilang belum sampai ke sana. Tetapi bukan berarti esai-esainya Dea itu buruk. Esai-esai tersebut justru sudah sangat baik, terutama dalam menunjukkan bagaimana patriarki bekerja. Paling tidak dengan membaca esai-esainya ini kita menjadi tahu peran patriarki dan laki-laki patriarkis dalam membuat perempuan tertahan di posisinya sebagai pihak yang diopresi/teropresi.
Meski kadang nada menggurui di esai-esainya cukup kuat, yang bisa saja membuat pembacanya jengkel dan antipati, Dea terbilang jernih dan konkret dalam menggambarkan bagaiamana satu hal berelasi dengan hal lain, bagaimana satu persoalan berelasi dengan persoalan lain, juga bagaimana pada akhirnya perspektif patriarki mengarahkan relasi-relasi ini ke sesuatu yang buruk di mana perempuan menjadi korban. Dea memberi penekanan yang kuat pada perspektif. Untuk bisa mengubah realitas ini menjadi lebih baik, seseorang pertama-tama harus memperbaiki perspektifnya. Dan ia bisa memulainya dengan mengabaikan dan menyingkirkan perspektif patriarki. Sebab patriarki harus dibunuh. Dan jikapun setelah ia dibunuh hantu-hantunya masih saja bergentayangan, mereka pun harus dibunuh. Dan tentu saja yang diberi peran untuk melakukan pembunuhan ini adalah kita. Kita semua.(*)
Bogor, 2 Januari 2019
2 responses to “Perempuan sebagai Korban dan Bagaimana Patriarki Bekerja”
Very interesting subject, regards for putting up.Raise blog range
w6kwdv