Dalam sebuah lukisan yang mengusung kubisme, bentuk-bentuk yang semula seperti akan organik justru dianorganikkan. Yang ditonjolkan, sebagai aktor, pada akhirnya bukanlah apa-apa yang tersaji di realitas dan kita kenal, melainkan apa-apa yang sekilas menunjukkan keterhubungan asal-usul ke sana namun tersaji dalam wujud-wujud lain, yang sesungguhnya tidaklah asing tapi jadi terlihat (dan terasa) asing sebab ia dikenakan kepada objek-objekatau subjek-subjekyang lazimnya kita lihat tidak seperti itu. Segitiga, kerucut, tabung, kotak. Bentuk-bentuk semacam itu. Ketika misalnya yang awalnya dicoba-munculkan adalah tangan, maka si tangan ini menjadi dirinya yang tidak lagi dirinya; ia bukan tersaji dalam wujud yang familier bagi kita namun dalam wujud yang lain. Di ujung perjalanan, wujudnya yang familier ini dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke wujud-wujud anorganik tadisegitiga, kerucut, tabung, kotak. Kita dipaksa berhadapan dengan sesuatu yang separuh asing separuh tidak, separuh nyata separuh tidak, separuh ada separuh tak ada, separuh masuk akal separuh tidak. Dan komposisi kemudian terbentuk. Tidak sekadar menghadirkan dua kutub yang berseberangan, sebuah lukisan kubisme juga menghadirkan interaksi di antara keduanya.
Lihat, misalnya, lukisan berjudul Port en Normandie karya Georges Braque. Sesuai judulnya, lukisan tersebut menawarkan sebuah view dari pelabuhan kecil di Normandia, dan sekilas melihatnya kita bisa mengenali bentuk-bentuk yang mengingatkan kita pada objek-objek atau subjek-subjek yang berkaitan erat dengan pelabuhan, seperti perahuatau kapal layar?dan mercusuar. Namun segera, bahkan mungkin di detik yang sama, kita pun menyadari: bentuk-bentuk itu tidak sempurna, dalam arti objek atau subjek yang ditampilkan tidak bisa dianggap sama dengan dirinya di dunia nyata, di realitas yang kita biasa hidup di dalamnya. Bentuk-bentuk (yang semestinya) sempurna itu telah dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke bentuk-bentuk anorganik. Kita jadi seperti berhadapan dengan puzzle, namun si puzzle ini tidak tersusun secara rapi, melainkan separuh-acak. Dan kita seperti terdorong untuk memikirkan maknabukan pesandari keseparuh-acakan ini.
Hal serupa ada pada lukisan berjudul Violin and Candlestick–juga karya Georges Braque. Jelas sekali, di judul disebutkan dua objek–atau subjek: violin and candlestick. Dan kita menemukannya, setidaknya bentuk-bentuk yang memiliki keterhubungan asal-usul ke sana, di lukisan itu. Kita menangkap sesuatu familier yang lekas mengingatkan kita kepada dua objek tersebut. Namun lagi-lagi, seperti di lukisan Port en Normandie tadi, bentuk-bentuk familier tersebut pada akhirnya dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke bentuk-bentuk lain, bentuk-bentuk yang mengisap kita dari realitas dan memuntahkan kita di ruang yang sebaliknya. Violin di lukisan itu tidak tampil sebagai dirinya yang utuh dan sempurna, melainkan dirinya yang terganggu dan penuh cacat. Begitu juga tempat lilin. Dan sebagai dampaknya apa yang kita rasakan? Saya kira sama: dorongan untuk memikirkan apa makna–bukan pesan, sekali lagi–yang mungkin tersembunyi di baliknya.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana jika cara kerja kubisme ini diterapkan dalam puisi, sebuah produk–jika boleh disebut demikian–yang menggunakan kata—bukan gambar–sebagai bahan baku utamanya? Apakah mungkin dicapai komposisi yang menawarkan nilai estetika yang samaatau setara? Tulisan ini, akan mencoba menjawabnya.
Puisi Nirwan Dewanto berjudul “Perenang Buta”–puisi pembuka di buku puisi Jantung Lebah Ratu–bisa jadi mencoba menyajikan cara kerja kubisme tadi dalam puisi. Dua bait awal puisi ini berbunyi: Sepuluh atau seribu depa / ke depan sana, terang semata. Tiga bait setelahnya: Dan arus yang membimbingnya / seperti sobekan pada jubah / tanjung yang dicurinya. Kita bisa juga melihat dua bait pertama tadi sebagai satu kalimat, dan yang setelahnya kalimat lainnya. Yang jelas, kita mendapati, keduanya berada dalam ruang gerak yang berbeda, dalam dimensi yang berbeda. Yang pertama tadi, relatif mudah divisualkan; ketika kita membacanya sambil membayangkannya kita mendapati diri kita dihadapkan pada sesuatu yang relatif familier bagi kita, yang mungkin kita temukan di realitaskendati bisa jadi kita belum (pernah) mengalaminya. Sedangkan yang kedua, jelas sekali, tidak seperti itu. Kalaupun kita bersikeras memperoleh visualisasi yang familier masihlah mudah, kita tetap tidak bisa mengelak dari kata-kata sobekan pada jubah tanjung yang dicurinya; cara si penyair mendeskripsikan situasi yang kita visualisasikan itu begitu kabur, begitu tidak kokoh, begitu bisa-berarti-lain dan karenanya membuat kita ragu–dan setelahnya melarikan diri (sejenak) dari realitas. Ini seperti sebuah bentuk yang awalnya tampak familier dan akan terus seperti itu justru dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke bentuk lain. Dan kita berhadapan dengan keduanya, di bidang (puisi) yang sama.
Mudah saya kira untuk menghubungkan pembacaan tersebut ke konsep nyeleneh kubisme yang dibahas di awal tadi. Visualisasi yang berbuah sesuatu familier dalam “Perenang Buta”, bisa kita bayangkan sebuah tangan dalam wujud yang kita kenal di realitas; sedangkan visualisasi yang berbuah sesuatu tidak familier bahkan liyan yang dihadirkan kemudian, yang seperti mengakhiri visualisasi bagian puisi tersebut secara keseluruhan, adalah wujud final dari si tangan tadi, yang ternyata tidaklah hadir dalam wujud yang sama dengan yang kita dapati di realitas kita, realitas nyata kita. Si tangan yang semula seperti akan tersaji sebagai tangan yang umum dan normal itu terkhianati oleh teknik yang membentuknya, sehingga ia tampil sebagai tangan yang berbeda, yang tak nyata, yang asing, yang tak ada. Bukan berarti kita tidak memahaminya, bukan berarti kita benar-benar tak mengenali wujud dasarnya itu—bahwa ia dimaksudkan sebagai tangan. Yang terjadi adalah: kita terdorong–bahkan terpaksa–untuk melihat si tangan itu sebagai dirinya yang lain, atau melihatnya dengan cara-cara lain, sehingga kemudian kita bisa sedikit-banyak mendapatkan gambaran tentang makna yang ada padanya, teritori semacam apa yang berusaha ditawarkannya. Visualisasi dalam beberapa bait puisi Perenang Buta itu, dalam hal ini, telah hadir sebagai sebentuk lukisan kubistis.
Di bait-bait setelahnya pun napas kubisme hadir dan terasa, dengan metode yang sama. Bait-bait ini, misalnya: Tak beda ubur-ubur atau dara / mendekat ke punggungnya / yang tumbuh sekaligus memar / oleh kuas gerimis akhir Mei. Bisa kita lihat bahwa ketika berhadapan dengan dua baris pertama kita tidaklah kesulitan mendapatkan visualisasi yang masuk akal, yang menjejak pada realitas yang kita pijak, namun saat berhadapan dengan baris ketiga kita kembali beroleh kesulitan; kita seketika bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan kata tumbuh di sana dan ketika kita memvisualkannya secara harfiah kita mendapati gambaran yang menjejak pada realitas tadi itu terkhianati, hancur, sehingga wujud finalnya yang tampak di hadapan kita adalah wujud yang liyan, yang terpiuhkan, yang teranorganikkan–sebentuk lukisan kubistis lainnya. Dan ingat, di sini kita masih bicara tentang satu puisi yang sama; kedua bentukan kubistis tersebut kita temukan di satu tubuh puisi yang sama. Bayangkanlah, tubuh puisi tersebut adalah sebuah lukisan pada kanvas, semisal Port en Normandie atau Violin and Candlestick tadi. Maka pastilah kita menyadari bahwa bentukan-bentukan kubistis yang kita temukan–lebih tepatnya kita sadari–tadi itu adalah objek-objek–atau subjek-subjek–yang tersaji sebagai dirinya yang terkhianati, yang terpiuhkan, yang teranorganikkan. Inilah saya kira salah satu alternatif wujud kubisme dalam puisi.
Satu konsep penting lainnya dari kubisme selain pemiuhan yang berbuah keanorganikan adalah kehadiran yang simultan. Kita tahu, lukisan bergerak secara spasial; segala hal yang ada padanya menyergap kita tidak berdasarkan urutan yang kaku, justru serentak, seolah-olah bersamaan, dan bisa dimulai dari bagian mana saja, tergantung ke titik mana pengamatan kita difokuskan. Dalam hal ini, puisi, yang wujudnya bertolak pada kalimat, pada kata, sangatlah berbeda; telanjur ada jalur yang menuntut diisi sehingga kalimat-kalimat atau kata-kata dalam puisi itu tersusun berlajur-lajur. Tidak bisa kita memandangi sebuah puisi secara acak sesuka hati kita. Bagaimanapun, kita diminta untuk membaca dari atas, dari awalnya, dari pembukanya, dan setelahnya menikmatinya sesuai jalur yang ada. Sebuah puisi, dengan kata lain, bergerak secara temporal. Dan di sinilah menariknya. Menerapkan konsep kubisme berupa simultanitas ke dalam puisi berarti mengubah sifat si puisi yang temporal itu menjadi spasial, atau setidaknya meleburkan keduanya. Dan apa itu mungkin?
Jika yang dimaksud adalah simultanitas murni, di mana kita benar-benar bisa membaca dan menikmati si puisi dari titik mana saja dari bait mana saja dari baris mana saja, agaknya sulit. Bagaimanapun sifat yang dimiliki teks adalah temporal, kecuali kita bergerak secara ekstrem seperti dengan membebas-lepaskan si teks dari makna dan arti yang dikandungnya, sehingga kata-kata di dalam teks tersebut tidaklah lebih dari item-item atau benda-benda yang diletakkan berlajur-lajur, tanpa ada hukum keberbahasaan yang mengekangnya. Namun, jika simultanitas yang dimaksud adalah yang boleh sedikit tercampuri oleh sifat temporal teks tersebut, saya kira itu jauh lebih mungkin. Setidaknya, kita jadi melakukan keduanya sekaligusmenikmati si puisi sesuai jalur yang ada dan, di saat yang sama, menikmati keserentakan yang menyergap di sela-selanya, di sepanjang jalur tersebut.
Contoh penerapannya barangkali kita temukan pada puisi “Boogie Woogie”, masih dalam Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto. Berikut kalimat awalnya: Di Broadway, hanya di Broadway / langit bisa menggirangkan diri / dengan merah, semu merah, / merah Mao, merah Marilyn Monroe, / meski di setiap sudut surai salju / mengintai hendak memberkati / ungu magnolia musim semi, / hitam legam seragam polisi, / kuning taksi dan sepatu Armani, / kuning kunang-kunang tak tahu diri. Perhatikan, dalam satu kalimat itu ada begitu banyak kata, yang tiap kata tentu saja memiliki bentuk visualnya sendiri-sendiri, merangsang kita untuk segera membayangkannya atau merasakannya. Memang, kata-kata tersebut hadir secara patuh pada jalur yang ada, di mana mereka, dalam kemunculannya itu, ikut membentuk makna dan arti dari struktur kalimat yang tersaji. Akan tetapi, di saat yang sama, kita bisa juga melihat kemunculan mereka itu seakan-akan serentak, atau menuju serentak, di mana langit muncul dalam satu lajur bersama diri, merah dan Mao dan Marilyn Monroe muncul bersama dalam satu lajur, di mana sudut dan surai dan salju, di mana ungu dan magnolia dan musim semi, di mana hitam dan seragam dan polisi, di mana kuning dan taksi dan sepatu Armani, di mana kuning dan kunang-kunang dan diri, masing-masing muncul bersama dalam satu lajur. Simultanitas. Atau tepatnya, pseudo-simultanitas. Di satu sisi kita menikmati kalimat pertama puisi tersebut dengan membaca kata demi katanya secara temporal, di sisi lain kita juga menikmatinya dengan memvisualkan kemunculan benda-benda yang ada secara spasial. Sebuah negosiasi antara yang temporal dengan yang spasial. Sebuah komposisi, pada akhirnya. Sebentuk lukisan kubistis dengan komposisi, dalam wujud puisi.
Tapi tunggu. Simultanitas dalam lukisan kubistis atau lukisan yang mengusung kubisme, sejatinya, adalah simultanitas yang menghadirkan pecahan-pecahan dari sejumlah item atau benda; atau, diri lain dari item atau benda tersebut. Ini artinya ketika sesuatu dihadirkan secara serentak dalam lukisan kubistis ia tidak hadir sebagai dirinya yang utuh, melainkan dirinya yang terpecah-pecah, terbagi-bagi, dan tentunya anorganik. Menerapkan hal ini ke dalam puisi tentu jadi lebih sulit. Tetapi untungnya, meski kadarnya mungkin belum terkategorikan cukup, kita bisa merasakan napas tersebut dalam puisi “Boogie Woogie” tadi.
Di kalimat keduanya ini, misalkan: Tapi di Broadway, hanya di Broadway / sungguh merah tak pernah sampai / ke surga, betapapun ia meninggi / melampaui puncak menara tertinggi, / menjinjing jantung paling murni, / jantung tercuci kuas Balla dan Boccioni. Kembali, seperti di kalimat pertamanya tadi, kita menemukan banyak item, banyak benda, dan kemunculan mereka di dalam lajur-lajur yang ada seolah-olah serentak; terasa seperti itu. Dan coba kita lihat lebih dekat; dari jarak yang lebih dekat. Kalimat dengan banyak kata tersebut terbagi-bagi ke dalam beberapa baris, dan ketika kita memfokuskan pengamatan kita pada baris-baris tersebut, kita mendapati bagian-bagian yang terpenggal-penggal itu tidak selalu utuh, tidak selalu penuh; seringkali tak selesai, dan makna serta artinya jadi tak jelas, atau tertunda. Misalnya, sungguh merah tak pernah sampai. Ke mana? Kita baru beroleh penjelasan atas hal ini di baris setelahnya. Sementara baris setelahnya itu sendiri, ke surga, betapapun ia meninggi, juga sebuah penggalan yang tak selesai; ada yang tak tersajikan di sana sehingga makna dan arti si sub-kalimat tertunda. Dalam arti tertentu, ketertundaan dan ketakselesaian ini sesuai dengan konsep simultanitas dalam lukisan kubistis tadi.
Masih ada barangkali konsep-konsep lainnya tentang lukisan yang mengusung kubisme, prinsip-prinsip yang membedakannya dari lukisan-lukisan beraliran lain, tapi di tulisan ini saya kira dicukupkan dengan dua hal tadi saja. Keanorganikan. Simultanitas. Dengan menemukan bagaimana kedua konsep ini telah coba diterapkan ke dalam puisi, sebuah produk yang bertolak pada teks, pada kata, kita sewajarnya senang, bergembira, bahkan bahagia. Sebab hal tersebut menandakan bahwa, kendati masih dalam taraf atau tingkatan yang mungkin tidak cukup memuaskan, melebur-saburnya lukisan dan puisi–dari segi teknik atau bentuk–adalah sesuatu yang mungkin. Kita rupanya bisa melakukannya! Yang spasial, dengan yang temporal, dipadukan, sehingga hadirlah sebuah sajian yang lain, yang liyan, yang potensialbahwa ke depannya kita bisa menawarkan sajian yang lebih liyan lagi dari itu, maksud saya. Ada juga efek positif yang kemudian timbul dan terasa dari perlakuan seperti ini, yakni meluasnya cara pandang kita terhadap puisi, terhadap teks; bahwa ketika kita berhadapan dengan sebuah puisi kita bisa juga di saat yang sama memosisikan diri kita tengah berhadapan dengan hal-hal lainhal-hal lain di luar puisi. Dan sekarang, bisa jadi, di benak kita, kita sudah mulai coba-coba memadu-leburkan hal-hal lain itu, ke dalam teks, ke dalam puisi, sehingga semakin terbukalah cara pandang kita atasnya. Sesuatu yang baik, yang positif, saya kira.(*)
Bogor, 2016-2017
*) Ulasan ini termaktub dalam Pintu Masuk Menuju Teks yang Lain (JBS, 2020)