Foto diambil dari Pexels

Bangkai

Malam kesembilan. Ia kembali membekap mulut dan hidungnya kuat-kuat. Di detik ia membuka pintu apaato bau busuk itu menyerangnya dan membuatnya mual dan ia nyaris saja memuntahkan semua isi perutnya, di sana. Segera ia masuk, menutup pintu dan menguncinya, melepas sepatu dan menaruhnya begitu saja di genkan, dan setelahnya setengah berlari menuju toire yang terletak beberapa meter tepat di hadapannya. Tas kecilnya ia lemparkan ke ruang televisi. Tentu saja, tak ada siapa pun di ruangan itu.

Di toire, tanpa berusaha menahan-nahannya lagi, ia muntah. Benar-benar muntah. Kau akan mendengar suara-suara tak menyenangkan jika kau di sana dan syukurlah kau tak di sana, sebab suara-suara tak menyenangkan itu bisa membuatmu kehilangan selera makan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Suara-suara itu terus terdengar selama hampir tiga menit, seperti memantul-mantul di dinding toire; sebagian keluar dan memantul-mantul di dinding ruangan-ruangan lain. Si tokoh kita ini, setelah berhenti muntah, merasakan tangan dan kakinya lemas; kepalanya seolah-olah baru saja dihantam bola voli.

Tokoh kita keluar dari toire seperti seseorang yang baru saja terbangun dari tidur yang kelewat panjang. Ia tahu, ia sebaiknya menuju dapur dan meminum beberapa gelas air, tetapi bagi dirinya saat ini hal sesederhana itu pun begitu merepotkan. Ia justru langsung menuju ruang televisi, perlahan memasukkan kedua kaki kurusnya ke kotatsu, mengambil remot televisi, menyalakan televisi dan kotatsu secara hampir bersamaan. Hangat dari kotatsu membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ini terlihat jelas dari perubahan warna dan raut mukanya. Di televisi, seorang komedian meledek seorang komedian lain dan para penonton tertawa.


Tokoh kita meyakini bau busuk yang diciumnya itu berasal dari bangkai, meski entah bangkai apa. Dulu sekali ketika ia masih tinggal di Indonesia, ia pernah setidaknya tiga kali mencium bau bangkai. Kali pertama bangkai seekor kucing, kali kedua bangkai seekor tikus, kali ketiga bangkai seekor ikan. Ketiganya sama-sama menancapkan ingatan tak sedap di benaknya. Dan kini, ketika ia teringat hal itu, ia selalu langsung merasa mual. Namun anehnya sampai sembilan hari yang lalu pengalaman tak menyenangkan tersebut seperti tak pernah mencuat di benaknya; seperti ia sama sekali tak pernah mengingatnya dalam berbelas-belas tahun hidupnya—terutama setelah ia meninggalkan negeri kelahirannya itu. Dan tokoh kita ini juga teringat satu hal lain: di tiga peristiwa itu ia hanya merasa sangat mual, tetapi ia tidak muntah.

Dalam keadaan lemas dan malas, di hadapan televisi yang semakin lama semakin tak menarik baginya, tokoh kita merasa heran ia kembali teringat ketiga bangkai itu, ketiga peristiwa di mana ia berhadapan dengan bangkai-bangkai itu. Kemarin pun seperti ini, begitu juga kemarin-kemarinnya lagi. “Ini seperti sebuah siklus penderitaan saja; seperti sesuatu menghendaki aku mengalami penderitaan yang sama setiap harinya, keluhnya. Tingkat gangguan yang dimunculkan bau busuk itu sejauh ini memang relatif sama; tak bertambah dan tak berkurang.

Tentu saja tokoh kita sudah mencoba mencari-cari si sumber bau, dan ia tak menemukannya. Lagipula ia tak habis pikir di apaato-nya ini ada seekor tikus atau seekor kucing atau bahkan seekor ikan yang mati membusuk tanpa diketahuinya; bahwa sesuatu semacam itu terjadi kemungkinannya hampir nol, menurutnya. Kecuali, bangkai itu memang tak di sana, melainkan di sebuah tempat yang jauh, di sebuah apaato yang tak diketahuinya, dan ia entah bagaimana bisa mencium baunya; seakan-akan apaato tersebut dalam arti tertentu terhubung dengan apaato-nya ini, atau bahkan dirinya sendiri. Beberapa saat, tokoh kita memikirkannya. Lalu ia tersenyum, seperti mengejek dirinya sendiri. Hal semacam itu hanya mungkin terjadi di dalam fiksi dan tokoh kita meyakini, sepenuhnya meyakini, selama ini ia hidup di dalam fakta.


Sebenarnya akan jauh lebih mudah baginya memahami apa yang tengah dialaminya ini kalau saja ada seseorang yang bisa diajaknya memasuki apaato-nya. Teman mengobrol, teman makan, teman tidur. Siapa pun itu. Setidaknya orang itu bisa membantunya memastikan apakah bau busuk ini benar-benar memenuhi apaato-nya atau hanya sesuatu yang tercium olehnya saja. Ini penting untuk menentukan langkah apa yang mesti ia ambil. Tapi seseorang itu tidak ada. Tidak pernah ada.

Dua tahun terakhir ini ia menjalani hidup seorang diri dan ia benar-benar keras kepala dan ia tak berencana mengubah cara hidupnya ini. Bahkan saking keras kepalanya ia, ia mencoret ide mengeluhkan bau busuk ini ke si pemilik apaato. Sejak memutuskan untuk menjalani hidup seorang diri, setiap orang menjadi asing baginya. Dan kalau dipikir-pikir, sebelum itu pun ia bisa dibilang sendirian, dalam arti ia tak punya seorang pun teman dekat. Satu-satunya orang yang terbilang dekat dengannya adalah ibunya, dan si ibu ini sudah tiada.

Tokoh kita mulai menjalani kehidupan seorang diri tak lama setelah pernikahan kedua ayahnya, beberapa tahun lalu. Pernikahan itu bukan sesuatu yang menggembirakannya. Tepat sesaat setelah kabar pernikahan itu diterimanya ia bahkan berharap kabar itu palsu atau ia salah membacanya atau ayahnya sedang iseng mengerjainya. Di hari pernikahan, ia memang datang; memaksakan datang; menginjakkan kaki lagi di Indonesia setelah sekian tahun lamanya. Tapi jelas-jelas itu bukan sesuatu yang disyukurinya, dan ia pun sama sekali tak menikmatinyajustru sebaliknya. Ia menyaksikan ayahnya melakukan akad nikah dengan seorang perempuan Indonesia, dan ia merasakan sesuatu yang aneh tengah terjadi di dalam dirinya; cairan di dalam lambungnya seperti bergejolak dan rasa mual yang tak bisa dijelaskannya menyusul cepat membuatnya muak. Ia bertahan di sana sampai prosesi pernikahan itu selesai. Bertahan, sampai selesai. Si penghulu melontarkan guyonan dan orang-orang tertawa, dan orang-orang bergembira. Tetapi ia tidak.

Ibunya yang dicintainya, yang sedikit-banyak menurunkan wujud fisiknya padanya, meninggal dua tahun sebelumnya dalam sebuah insiden menggelikan yang sampai detik ini tak bisa diterimanya. Ibunya itu sedang dalam perjalanan pulang sehabis lembur dan ia mampir di sebuah konbini, barangkali untuk membeli obat sakit kepala dan air mineral. Saat ia keluar dari konbini tersebut, seseorang asing, seorang lelaki yang tak dikenali ibunya, tiba-tiba berlari ke arahnya dan memeluknya, kuat sekali memeluknya. Sepersekian detik kemudian ibunya pastilah menyadari ada sesuatu yang salah dengan perutnya, sebab si lelaki asing itu rupanya menusukkan sebuah pisau dapur tajam ke perutnya; menusukkannya lebih dari tiga kali dan sesekali menekannya dan mengoyaknya. Itu masih belum terlalu malam, dan karenanya insiden tersebut cepat disadari orang-orang, dan tidak butuh waktu lama sampai beberapa lelaki menyergap si penusuk itu dan polisi yang kebetulan sedang berpatroli meringkusnya dan membawanya. Ibu si tokoh kita, mengembuskan napas terakhirnya di dalam ambulans di perjalanan ke rumah sakit. Berdasarkan keterangan dari kepolisian, si lelaki asing itu melakukannya hanya agar ia ditangkap dan dipenjara. Ia mengaku sudah tak bisa lagi menjalani hidup di sebuah realitas yang, menurutnya, sama sekali tak berpihak lagi kepadanya.

Ayahnya, yang saat itu sudah bukan lagi suami ibunya, ikut hadir di rumah duka. Tokoh kita menghubungi lelaki itu dan mengabarkan berita duka ini sebagai tanda penghormatan belaka, sebab bagaimanapun si orang meninggal itu adalah seseorang yang pernah sekian tahun lamanya hidup bersamanya; ia tak pernah berharap lelaki itu akan memaksakan diri terbang ke Jepang hanya untuk memberikan penghormatan terakhir atau semacamnya, dengan kata lain. Tetapi lelaki itu datang, dan tokoh kita tiba-tiba menyayanginya, kembali menyayanginya. Ia seketika teringat masa-masa penuh kegembiraannya dulu di Indonesia, saat ia dan lelaki itu dan ibunya masih tinggal di satu rumah, sebagai satu keluarga. Diamatinya, lelaki itu terlihat jauh lebih tua; seperti berlalunya waktu bertahun-tahun telah memberinya begitu banyak penderitaan, begitu banyak kepedihan. Namun ia masih bisa tersenyum, dan tokoh kita membalas senyumnya itu. Sehabis proses kremasi ayah-anak ini duduk bersila samping-menyamping di beranda belakang, menyaksikan langit yang begitu hitam dan merasakan dinginnya angin musim gugur. Kepada lelaki itu, tokoh kita lantas mengutarakan apa yang saat itu sangat mengusiknya.

Ia bicara tentang si penusuk ibunya. Lelaki itu, lelaki asing itu, telah membuat ibunya terpisahkan dari kehidupan ini, padahal ia sendirilah yang sangat menginginkan hal itu; ia sudah tak sanggup lagi bertahan di kehidupan ini dan karenanya ia ingin memisahkan diri darinya, mengenyahkan dirinya dari kehidupan tersebut, membuat dirinya jadi sesuatu lain yang tak lagi berada di kehidupan itu. Dan agaknya ia berhasil, meski secara teknis ia tentu masih berada di kehidupan tersebut. Tetapi untuk mencapai itu, ia telah lebih dulu mengenyahkan seseorang yang sama sekali asing baginya. Ibu si tokoh kita, seseorang yang sungguh-sungguh asing bagi lelaki itu, telah lebih dulu menjadi sesuatu lain yang tak lagi berada di kehidupan ini. Tokoh kita tak bisa menerimanya. Berapa kali pun ia memikirkannya, berapa kali pun ia coba menggeser cara pandangnya, ia tetap tak bisa menerimanya. “Tidak bisakah seseorang memenuhi keinginannya tanpa mengorbankan orang lain?” tanya tokoh kita, kepada ayahnya.

Lelaki itu tak mengatakan apa pun. Ia hanya menaruh tangannya yang besar di kepala tokoh kita, sedikit menggoyang-goyangnya, lantas membelainya. Tokoh kita menoleh. Ia mendapati senyum lelaki itu menerpanya.


Tokoh kita kembali menyayangi lelaki itu seperti dulu ia pernah menyayanginya. Ia abaikan sesuatu di dalam dirinya yang berusaha memunculkan kembali gambaran-gambaran soal perceraian ayah-ibunya, pertengkaran-pertengkaran tanpa akhir kedua orangtuanya ini, malam-malam di rumahnya dulu yang terasa begitu dingin dan menekan. Ia abaikan, dan ia mulai mencoba memaafkan ayahnya itu. Sekilas melintas di benaknya sebuah proyeksi dari apa yang pernah dialaminya dulu: ibunya yang telanjang menangis di dalam pelukannya, dan tangis itu semakin gila hingga ia refleks memperkuat pelukannya. Tetapi ia, tak lagi melihat sesuatu itu begitu mengganggunya.

Satu hal lain yang membuat rasa sayangnya kepada lelaki itu kembali kuat adalah fakta bahwa lelaki itu, selama bertahun-tahun sejak tokoh kita dan ibunya bertolak ke Jepang, rupanya menghabiskan hari-harinya sendirian tanpa berusaha mencari pendamping, seseorang yang mungkin saja bisa mengisi ruang kosong yang ditinggalkan ibunya, baik di rumahnya maupun di hatinya, di dalam dirinya. Tujuh tahun. Demikian tokoh kita menghitung. Ia benar-benar tak pernah berharap sejauh itu. Ia bahkan telah melatih dirinya untuk menerima seandainya dalam rentang waktu tujuh tahun itu si lelaki tiba-tiba mengabarinya akan hadirnya sesosok perempuan asingbaginya. Lelaki itu mengaku, keinginan semacam itu terlalu aneh baginya, sebab selama lebih dari dua puluh tahun ia telah menjalani hidup hanya dengan seorang perempuan sajaibu si tokoh kita. Sewaktu menyimak penjelasan lelaki itu, tokoh kita langsung membayangkan menit-menit penuh kesunyian dan penderitaan, dan ia jadi ingin memeluk lelaki itu. Tetapi ia menahan diri.

Maka bisa dimengerti betapa kabar pernikahan ayahnya itu begitu menghantamnya. Kabar itu seperti sebuah gada yang sekonyong-konyong muncul di hadapannya, menuju dadanya, menumbuhkan memar dan rasa sakit yang teramat gila di sana. Ia tahu itu semestinya bukan sesuatu yang luar biasa. Seorang lelaki yang telah sekian lama menduda memutuskan untuk menikah lagi. Benar-benar bukan sesuatu yang luar biasa. Tetapi ia tahu, ia tak bisa menerimanya. Sesuatu di dalam dirinya menolak kuat-kuat pernikahan itu dan kali ini ia bersekutu dengan sesuatu itu. Ia bahkan terpikir untuk menelepon lelaki itu dan melontarkan satu-dua kalimat keji yang mungkin akan menghadirkan kekosongan di dalam diri lelaki itu. Kekosongan yang kental, dan mungkin kekal. Ia batal melakukannya, karena kenangan-kenangan akan ibunya perlahan-lahan menghampirinya, mengerubunginya. Perempuan yang disayanginya itu suatu kali pernah memintanya untuk memaafkan lelaki itu. Dan permintaan inilah, yang kemudian, sedikit-banyak mendorong tokoh kita mengabarkan kematian ibunya kepada lelaki itu.

Ia pun akhirnya terbang ke Indonesia, menghadiri pernikahan ayahnya, menyalami istri ayahnya dan mengucapkan selamat kepada perempuan itumeski dengan sorot mata yang terlampau redup. Dan rupanya ia menyesalinya. Keputusannya itu, ia menyesalinya. Di perjalanan ke bandara (ia berkata harus pulang hari itu juga padahal kalau ia mau ia bisa mencoba menghabiskan waktu di sana dua-tiga hari), rasa mual itu sesekali menyerangnya; rasa mual yang tiba-tiba menyiksanya di saat ia menyaksikan ayahnya mengucapkan akad nikah. Selama di pesawat ia berhasil melepaskan diri karena tidur. Setibanya di Jepang, tepat saat pesawat mendarat, rasa mual itu kembali berulah. Setelah sekitar satu jam menahannya ia pun menyerahmuntah-muntah di toilet rumahnya. Bibinya dan neneknya, ketika ia keluar dari toilet, menanyainya apakah ia baik-baik saja.


Beberapa hari setelah muntah-muntah itulah tokoh kita memulai babak hidupnya yang baru, di mana ia (benar-benar) menjalani hari-harinya seorang diri. Kepada bibinya dan neneknya, ia berkata harus menyewa sebuah kamar apartemen di pusat kota sebab ia mulai lelah dengan perjalanan bolak-balik naik kereta; ia juga menilai dirinya sedang membutuhkan suasana baru, sebuah kehidupan yang setidaknya terasa baru. Bibinya dan neneknya pada akhirnya mengizinkannya, dengan berat hati. Mereka memintanya berjanji untuk pulang, setidaknya sebulan sekali. Memang ia telah bertahun-tahun tinggal di negeri itu, namun di mata bibinya, juga neneknya, rentang waktu itu masihlah begitu singkat, dan karenanya mereka cemas.

Dan kecemasan mereka itu memang beralasan. Sudah hampir dua tahun ia tinggal terpisah dari keluarganyalebih tepatnya keluarga ibunyadan ia hanya pernah pulang empat kali saja. Empat kali di empat bulan pertama. Ia bahkan sudah tidak pernah lagi berbicara dengan bibinya atau neneknya, tidak kecuali lewat meeru yang selalu singkat dan tanpa emosi. Lama-kelamaan kedua orang itu pun sepertinya menyerah, atau mereka hanya membiarkan tokoh kita ini menemukan jalan hidupnya sendiri, memahami kehidupannya dengan caranya sendiri. Ia masih bekerja, di perusahaan yang sama; sebuah perusahaan kosmetik yang di sana ia tidak merasa perlu berteman akrab dengan siapa pun. Seiring waktu berlalu, semakin sedikit saja orang-orang yang dengan senang hati menghampirinya dan mengajaknya makan siang, berbelanja, atau bahkan sekadar bicara. Tokoh kita menyadari hal ini, tetapi ia tak memikirkannya.


Di malam pertama bau busuk itu menyerangnya, tokoh kita dalam keadaan setengah mabuk. Satu jam sebelumnya ia masih berada di sebuah pesta; orang-orang di kantornya merayakan sesuatu dan ia ikut serta dan sedikit minum-minum demi menjaga kesopanan. Disergap bau busuk itu, ia jadi begitu kesal. Ia jadi menyalahkan dirinya sendiri yang mau-maunya mengikuti pesta tersebut; sebuah pesta yang di sana ia ada atau tidak pun tak jadi soal. Ia melepas kedua sepatunya, namun membiarkannya begitu saja. Bau busuk itu begitu menyengat dan sejak menciumnya ia membekap mulut dan hidungnya kuat-kuat. Sempoyongan, ia menuju kamar mandi. Sekilas ia menoleh mengamati ruang televisi. Dan, entah kenapa, di matanya ruangan itu terlihat begitu dingin—begitu mati.(*)

Duta Pakuan, Maret 2017

Cerita pendek ini termaktub dalam buku berjudul Sesuatu yang Hilang dan Kita Tahu Itu Apa (Beruang, 2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *