Ketika berbicara tentang masa kejayaan Islam, dalam arti Islam mencapai wujudnya yang paling baik, yang mungkin bisa juga dibilang mendekati ideal, Karen Armstrong, sejarawan terkenal itu, selalu menjadikan Islam di zaman Rasulullah SAW sebagai rujukan, yang biasanya mengerucut pada dua peristiwa krusial: disepakatinya Piagam Madinah dan “ditaklukkannya” Mekah. Di mata Armstrong, dua hal tersebut, dua peristiwa itu, menunjukkan jati diri Islam yang sesungguhnya, yang di dalamnya mudah kita temukan hal-hal yang bahkan oleh masyarakat “Barat” saat ini pun akan dianggap sesuatu yang positif, seperti demokrasi, kesetaraan, pembelaan atas HAM, pengakuan atas adanya keberagaman, perjuangan yang bersifat nonkekerasan, rekonsiliasi, dan optimisme. Tentu pemaknaan kita atas hal-hal tersebut harus disesuaikan dengan konteks historis-sosiologis yang menyertai kedua peristiwa itu. Dalam hal ini, kita, sebagaimana dianjurkan Armstrong, memosisikan Islam sebagai sesuatu yang berelasi dengan hal-hal yang ada di sekitarnya, di mana relasi ini bersifat dinamis dan berdampak pada relatif cairnya Islam itu sendiri—ia dimungkinkan berubah jika ada perubahan di sekitarnya. Dan pada akhirnya, kita, mungkin akan sampai pada pemahaman ini: Islam, adalah “agama” yang sangat realistis ketika itu; juga, sebuah tawaran terbaik bagi masyarakat Arab pada masa itu.
Realistis memang salah satu sifat Islam yang membantunya berkembang pesat dalam waktu yang relatif singkat di jazirah Arab, di mana ia tidak menawarkan sesuatu yang terlampau tak bersinggungan dengan realitas masyarakat Arab ketika itu. Misalnya, soal bahasa Al-Qur’an, soal bagaimana Tuhan menuturkan firman-firman-Nya. Kita tahu Al-Qur’an dituturkan dalam bahasa Arab yang “puitis”, dalam arti ia kaya akan perumpamaan—tidak secara langsung mengatakan sesuatu—dan begitu sadar tempo, ritme, dan bunyi. Dan ini memungkinkan masyarakat Arab saat itu, yang kita asumsikan saja tengah begitu akrab dengan syair dan semacamnya, mengenalinya, kemudian mendekatinya, kemudian menyentuhnya, dan pada akhirnya tersentuh olehnya. (Kita tentu tak memungkiri bahwa banyak di antara orang Arab saat itu yang beralih memeluk Islam karena begitu terpesona oleh keindahan Al-Qur’an sebagai teks yang dituturkan—atau dilagukan.) Atau misalnya soal perintah salat. Konon orang-orang di zaman rasul-rasul sebelumnya, para pengikut raul-rasul itu, mendapat perintah untuk salat hingga puluhan kalinya dalam sehari, sesuatu yang tentulah teramat berat bagi masyarakat Arab di zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga perintah salat yang ditawarkan kepada mereka hanya lima kali saja dalam sehari, sesuatu yang jauh lebih masuk akal dan mestinya bisa dijangkau oleh mereka. Atau, soal batasan memiliki istri—maksimal empat orang. Tentu ketika kita melihatnya sekarang—dengan perspektif Feminisme, misalnya—batasan tersebut masihlah sesuatu yang tak masuk akal, yang tak semestinya kita anggap ideal dan final—sebab di sana perempuan masih jelas-jelas diposisikan sebagai sosok subaltern, misalnya. Tetapi dengan konteks masyarakat saat itu, di mana adalah sebuah normalitas seorang lelaki memiliki begitu banyak perempuan sebagai istrinya, batasan tersebut kiranya sudah sangat negosiatif, sudah sangat realistis, dan karenanya masih mungkin diterima, masih berada dalam jangkauan pola pikir mereka—lelaki-lelaki Arab pada masa itu. Ini hanya tiga contoh saja, dan masih banyak contoh lainnya. Intinya, Islam pada masa itu adalah sebuah tawaran yang realistis, yang mungkin dijangkau oleh masyarakat yang berusaha didekatinya; bukan sesuatu yang terasa begitu jauh dan begitu asing, sehingga mustahil bahkan untuk sekadar dikenali. Negosiatif, dengan kata lain; semacam turunan dari sifat realistisnya itu tadi.
Tentu selain realistis dan negosiatif, Islam menawarkan juga semacam kebaruan, penyegaran, hal-hal yang berpotensi membawa kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, bahkan jauh lebih baik; mendorong kebudayaan mereka berkembang, dengan kata lain. Dan dalam mengarahkan para pemeluknya ke kehidupan yang lebih baik tersebut, Islam lagi-lagi menempuh cara-cara yang “masuk akal” bagi mereka, dalam cara-cara yang bisa mereka kenali meski dalam satu-dua hal bisa jadi sangat berbeda. Misalnya, Islam melarang orang-orang Arab mengubur anak-anak perempuan mereka; sebuah larangan yang tentulah akan berdampak baik bagi perkembangan masyarakat, dan akhirnya kebudayaan itu sendiri. Dan dalam upaya membuat larangan tersebut dipatuhi, Islam menawarkan konsep dosa-pahala, surga-neraka, amal baik-amal buruk, dua hal yang diperlawankan satu sama lain, sesuatu yang mestilah bukan hal asing bagi masyarakat Arab saat itu; di saat yang sama, definisi dan deskripsi tentang dua hal yang diperlawankan itu sendiri diperbaharui, diubah ke bentuk-bentuk yang lebih bisa memberikan “efek kejut” bagi mereka. Surga, misalnya. Di dalam Al-Qur’an surga digambarkan sebagai sebuah ruang yang sangat dekat dengan lingkungan tropis namun dalam tingkatan yang jauh melampauinya, dan ini bisa dengan mudah menimbulkan semacam kerinduan yang memabukkan dan tak tertahankan di hati para pemeluknya—orang-orang Arab ketika itu—yang sehari-hari berhadapan dengan lingkungan yang panas dan gersang. Hal yang sama berlaku juga untuk salah satu wujud “pahala” berupa bidadari-bidadari di surga yang konon siap disetubuhi dan akan “suci” kembali setelah persetubuhan itu, sesuatu yang kiranya akan juga menimbulkan kerinduan serupa bagi mereka; dan ini pun bersinggungan dengan normalitas yang sempat disinggung tadi, bahwa lelaki-lelaki di sana pada masa itu lumrah saja memiliki begitu banyak istri. Adapun tentang nuansa patriarkis-misoginisnya itu sendiri, mesti dipahami, itu dikarenakan masyarakat Arab pada saat itu memang hidup dalam realitas yang seperti itu, di mana para perempuan dikekang di ruang-ruang domestik dan para lelakilah yang berpikir dan berpendapat dan merumuskan hukum, sehingga kepada merekalah seruan itu diarahkan. Di sini, lagi-lagi, kita mendapati betapa Islam memang tawaran yang sangat realistis, yang negosiatif, dan kedua sifatnya ini difungsikan untuk mendorong masyarakat memperbaiki dirinya, membentuk-ulang kebudayaannya. Coba bayangkan Islam yang ditawarkan kepada masyarakat Arab saat itu tak bernuansa patriarkis-misoginis, di mana suaranya justru sangat feminin dan bukannya maskulin. Kiranya ia akan lebih mungkin ditolak ketimbang diterima, dan itu berarti Islam “ideal” yang diapresiasi Karen Armstrong tadi tak akan ada.
Selain menawarkan kebaruan berupa perbuatan, Islam juga menawarkan kebaruan berupa gagasan, berupa konsep. Ini terkait dengan dua peristiwa krusial yang disinggung di awal tadi. Ketika Piagam Madinah disepakati sebagai hukum yang mengatur “masyarakat” Madinah, di situ ada gagasan baru yang coba diwujudkan, yakni bahwa orang-orang Arab pada saat itu bisa juga disatukan bukan oleh faktor kesukuan atau “agama”, melainkan oleh sesuatu yang lebih besar dari itu, yang sifatnya universal dan itu bertahan hingga sekarang, yakni kebaikan-untuk-sesama. Sungguh pada saat itu ini sesuatu yang baru; sebuah terobosan; juga sebuah tanda bahwa Islam yang ditawarkan tersebut adalah ajaran yang visioner, yang melampaui batasan ruang dan waktu, dan karenanya mampu mendorong kebudayaan masyarakat berkembang. Sementara itu dalam “ditaklukkannya” Mekah itu sendiri, mudah dipahami, terlihat bahwa konsep mayoritas-minoritas sebagai oposisi biner ternyata bisa digugurkan, bisa benar-benar digugurkan. Dalam peristiwa bersejarah itu pun kita melihat bahwa rekonsiliasi menjadi kunci dan tonggak dari kemajuan yang akan dicapai oleh sebuah masyarakat, sebuah bangsa, sebuah “negara”. Islam, yang selama masa penyebarannya ketika itu juga diwarnai oleh pertumpahan darah, oleh sejumlah kekerasan dalam berbagai tingkatannya, pada puncak kemenangannya justru tampil sebagai sesuatu yang putih-murni, sesuatu yang bersih-suci, sesuatu yang mau tak mau akan diterima seseorang sebagai sebuah kebaikan. Dan, seakan-akan dimaksudkan untuk menguatkan kesan ini, salah satu momen terakhir Nabi Muhammad SAW dalam interaksinya dengan umatnya, yang dinilai begitu berharga, adalah ketika ia memberikan khotbah di haji terakhirnya, Haji Wada, di mana ketika itu pakaian yang dikenakan oleh orang-orang di sana berwarna putih, atau setidaknya sebagian besar seperti itu. Dan menarik sekali di sini bahwa pada momen ini yang dikemukakan Rasulullah SAW adalah hal-hal yang tak begitu menyenangkan, yang nuansanya cenderung pesimistis bahkan depresif—meski masih dibarengi oleh kepasrahan khas Islam yang bisa melahirkan kedamaian di dalam diri. Bukankah ini, jika kita tarik ke apa yang dibahas di paragraf awal tulisan ini, seperti membenarkan penilaian Karen Armstrong tadi bahwa Islam pada masa kejayaannya adalah Islam pada masa Rasulullah SAW? Jika memang demikian, lantas, bagaimana Islam setelah itu?
Memang Islam sangat memusatkan dirinya pada Rasulullah SAW, menjadikan sosok kharismatik ini sebagai pusat, sebagai sosok yang teramat krusial yang berarti apabila ia tak ada maka Islam akan sangat mungkin berbeda, baik itu wujudnya (penerapannya dalam kehidupan sehari-hari), strateginya (penyebaran dan pengembangannya), esensinya (pembacaan dan pemaknaan atasnya), maupun yang lainnya. Tentang perang, misalnya. Di zaman Rasulullah SAW, ketika sosok sentral ini masih ada, perang selalu diposisikan sebagai bentuk pertahanan diri; kendatipun ada kasus-kasus di mana orang-orang Islam menyerang lebih dulu itu lebih tepat dilihat sebagai reaksi tak terhindarkan dari proses perang yang tengah berlangsung dan melibatkan mereka, dan bukan mereka yang memulai. Di sini kita bisa menafsirkannya juga seperti ini: perang, pada masa Rasulullah SAW, tidak pernah dimaksudkan untuk menaklukkan, bukan sebuah upaya untuk mendirikan koloni atau memperluas kekuasaan atau semacamnya. (Dalam “ditaklukkannya” Mekah tadi, misalnya, tidak ada perang; yang ada justru rekonsiliasi.) Posisi dan makna perang ini kemudian sedikit bergeser pada masa kekhalifahan, misalnya. Dan jauh setelahnya pada saat ini, misalnya di realitas yang relatif dekat dengan kita, perang tersebut kadang diposisikan dan dimaknai sebagai sebuah upaya untuk merepresi kelompok lain, atau untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang ada. Ketiadaan Rasulullah SAW adalah sesuatu yang berdampak nyata pada perubahan Islam.
Saya rasa ini memang salah satu kelemahan Islam, namun bukan berarti Islam tak mencoba mengatasinya. Pasca Rasulullah SAW wafat, selang beberapa lama, para pemikir Islam yang diakui kejujuran dan kompetensinya mengumpulkan catatan-catatan yang berkaitan dengan ucapan-ucapan Rasulullah SAW, dengan perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW, dan Islam pun akhirnya memiliki semacam kitab kedua—Al-Hadits. Jadi kendatipun Nabi Muhammad SAW selaku sosok sentral dalam Islam itu sudah tak ada, pemikiran-pemikirannya, pandangan-pandangannya akan realitas dalam perspektif Islam, masih ada, masih dijaga agar tetap ada, agar senantiasa ada hingga akhir zaman; dan dengan bertolak pada “kitab kedua” ini seorang muslim mestilah mengetahui, dengan pasti, apakah sesuatu yang akan atau telah atau sedang dilakukannya itu sejalan dengan apa yang dulu dikatakan atau dilakukan Rasulullah SAW atau tidak. Masalahnya, di sini ia berurusan dengan penafsiran, dengan pemaknaan-ulang, dan di situ selalu ada konteks, dan konteks ini selalu sesuatu yang rentan mengalami perubahan. Maka tidak heran apabila kemudian penafsiran atas “ayat-ayat” dalam “kitab kedua” itu tidak tunggal; bahwa yang disepakati sebagai “penafsiran yang baik dan benar” pun tidak bisa tunggal. Ini tentu bisa terjadi karena ketiadaan sosok Rasulullah SAW tadi. Pasca Rasulullah SAW wafat, bisa dibilang, Islam kehilangan pusat. Memang ada sosok-sosok yang diposisikan sebagai pusat baru, pusat-pusat baru, tetapi mereka itu sejatinya bukanlah pusat, melainkan hanya “pusat”. Sebab pusat Islam, pada dasarnya, memang hanya satu—Rasulullah SAW.
Di titik ini kita mestilah menyadari bahwa negosiasi Islam dengan realitas pun mengalami perubahan. Jika di masa Rasulullah SAW, bisa dibilang, negosiasi yang dibangun Islam adalah dengan realitas-realitas di luar dirinya, pasca Rasulullah SAW wafat Islam dituntut juga untuk bernegosiasi dengan realitas-realitas di dalam dirinya. Dan yang disebut kedua ini bukan sesuatu yang mudah; justru sesuatu yang sangat sulit jika kita melihat bentangan sejarah Islam yang kemudian terbentuk, bahwa semakin ke sini semakin banyak saja Islam dengan label tertentu, bahwa seakan-akan kini Islam tidak bisa berdiri dan bertahan tanpa label, dan seakan-akan label itu menjadi lebih penting ketimbang Islam itu sendiri. Negosiasi Islam dengan realitas di dalam dirinya banyak mengalami kegagalan, dengan kata lain, dan ini membuat Islam berada pada posisi yang tidak strategis sebab ia pada saat yang sama masih harus bernegosiasi dengan realitas-realitas di luarnya itu. Lantas bagaimana? Apakah Islam belum juga berhasil menemukan solusinya? Apakah Islam itu sendiri masih ada, jika yang dimaksud di sini adalah Islam pada masa kejayaannya dalam perspektif Karen Armstrong tadi? Untuk pertanyaan pertama, jawabannya barangkali ini: solusi-solusi sudah ditemukan, tetapi sifatnya tidak pernah universal. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, jawabannya mungkin ini: Islam masih ada namun wujudnya telah sangat berbeda; atau, Islam tak lagi ada dan yang ada—menggantikannya—adalah “Islam”. Maka kita, para pemeluknya, dengan demikian hanyalah “Muslim”—bukan Muslim.
Apakah Islam pada masa kejayaannya itu tidak memprediksi hal ini dan tidak melakukan upaya preventif untuk mencegahnya terjadi? Saya kira bukan itu. Jika kita mencermati apa yang dikemukakan Rasulullah SAW di haji terakhirnya itu, misalnya, kita dengan jelas mendapati bahwa Islam justru memprediksi bahwa pada akhirnya ia akan menjadi “Islam”, bahwa pada akhirnya ia yang semula tunggal itu akan berubah menjadi jamak—dengan tingkat aproksimasi yang mengagumkan. Dan upaya preventif itu sendiri dilakukan, benar-benar dilakukan, hanya saja bukan untuk mencegah hal tersebut terjadi, melainkan untuk membantu para pemeluk Islam itu agar siap menghadapinya. Ini kiranya bisa dilihat sebagai negosiasi Islam terhadap sebuah realitas yang berada sangat jauh di depannya, yang bahkan mungkin tak terbayangkan oleh sebagian besar orang pada masa itu, di kawasan itu. Bisa juga, kiranya, hal tersebut dilihat sebagai sebuah bukti nyata bahwa Islam memang sebuah “agama” yang visioner, yang didesain untuk hidup tidak hanya di masa itu, tetapi juga di masa-masa yang jauh setelahnya—termasuk saat ini. Tetapi ini tentu tak mengubah kenyataan pahit bahwa apa yang saat ini kita kira Islam ternyata hanyalah “Islam”; dan kita yang sering mengidentifikasi diri kita sebagai Muslim—kadang dengan arogan dan tak tahu diri—harus mau mengakui bahwa kita hanyalah “Muslim”. Dan kita tak mungkin menjadi Muslim, seperti halnya “Islam” tak mungkin (kembali) menjadi Islam. Tidak di realitas di mana waktu dipahami sebagai sesuatu yang linear dan tak terdistorsi.
Di sini, tentunya, kita perlu mencoba memikirkan solusi. Islam pada masa kejayaannya akan selamanya menjadi contoh terbaik. Kalaupun kita ingin berusaha menghadirkannya lagi, di mana tetap ia adalah “Islam” dan bukannya Islam, yang bisa kita lakukan paling banter adalah menghadirkan ruh-nya—bukan tubuh-nya. Yang saya maksudkan adalah kita memahami lebih dulu apa esensi Islam pada masa kejayaannya itu, dan esensi inilah yang kita tangkap dan selanjutnya kita coba transformasikan ke dalam format yang mungkin cocok dengan konteks saat ini, dengan realitas yang kita hadapi saat ini. Misalnya soal bahasa Al-Qur’an. Jika ia mau kita fungsikan untuk mendorong orang-orang jatuh hati pada “Islam”, dan mungkin memeluk “Islam”, maka kita perlu menawarkannya sebagai sesuatu yang lembut dan menyejukkan hati, bukannya garang dan memancing emosi. Atau, soal batasan jumlah istri—maksimal empat. Jika kita memosisikan batasan ini sebagai negosiasi yang realistis terhadap masyarakat saat ini, dengan tujuan mendorong masyarakat berkembang ke arah yang lebih baik, menuju terbentuknya kebudayaan yang lebih baik, maka kita tentu akan cenderung mengurangi batasan itu menjadi hanya satu saja. Mengapa begitu? Karena kita saat ini hidup di sebuah masa di mana posisi perempuan dalam masyarakat tengah diupayakan agar tidak lagi di posisi subaltern, agar relasi lelaki-perempuan dalam masyarakat sifatnya bukan lagi hierarkis tetapi dialogis. Atau, soal disepakatinya Piagam Madinah. Dalam konteks saat ini, misalnya terkait bangsa ini yang sangat beragam dalam banyak hal, upaya menghadirkannya bisa dalam bentuk seperti ini: kita memosisikan kebaikan-untuk-sesama di atas kepentingan rasial, politik, ekonomi, “agama”, dan yang lainnya. Dengan melakukan hal-hal tersebut kita mestilah telah menghadirkan “Islam” yang relatif dekat dengan Islam, dan dengan sendirinya kita menjadi “Muslim” yang relatif dekat dengan Muslim. Inilah, barangkali, cara “Islam” bernegosiasi dengan realitas yang tengah dihadapinya saat ini—baik di dalam maupun di luar. Namun tentu, kita tak bisa naif juga. Dalam realisasinya di lapangan, sangat mungkin, kita mendapatkan halangan dan serangan, yang mungkin konsisten dan kontinu. Dan konyolnya itu lebih mungkin kita alami saat kita berhadapan dengan diri kita sendiri, saat “Islam” yang coba kita tawarkan ini dipertemukan dengan “Islam” lain. Begitulah.(*)
—Bogor, 24 Agustus 2018