Tuhan sebagai Sosok yang Terbayang

Tokoh Beliau dalam Semua Ikan di Langit-nya Ziggy Zezsyazoeviennazabrizkie tentulah representasi dari tuhan, atau sesuatu semacam tuhan, sebab ia mampu menciptakan sesuatu sekaligus menghancurkannya, dan ia pun dalam arti tertentu terbebas dari sistem yang membelenggu kehidupan tokoh-tokoh lain yang menjadikannya unik, bahkan tunggal; sebuah entitas yang satu-satunya. Dikisahkan, bersama tokoh-tokoh yang dipilihnya, yakni sebuah bus Damri dalam kota trayek Dipatiukur-Leuwipanjang dan seekor kecoa dari Rusia, si tokoh ini melakukan petualangan yang melampaui batas-batas ruang dan waktu. Masa lalu, masa depan, ruang angkasa, lautan luas. Dalam petualangan yang tanpa batas itu hal-hal imajinatif bermunculan dan ini menjadi daya tarik tersendiri baik bagi pembaca maupun tokoh-tokoh di dalam novel; tokoh-tokoh selain Beliau si semacam tuhan itu. Si penutur kebetulan adalah si bus Damri dalam kota yang naif dan polos, yang tidak banyak tahu, sehingga petualangan-petualangan tersebut senantiasa berada dalam nuansa yang ambigu, yang samar-samar dan ambigu. Ia, si bus itu, tak pernah secara terang-benderang mengatakan bahwa Beliau adalah tuhan atau sesuatu semacam tuhan. Di matanya, Beliau adalah sosok istimewa yang menyayanginya dan mencintainya, yang juga disayanginya dan dicintainya. Hanya itu saja yang jelas.

Di novel ini Beliau dihadirkan dalam wujud seorang anak lelaki. Kecil, kumal, bertelanjang kaki. Ia dikelilingi ikan-ikan yang melayang-melayang di sekitarnya, yang membantu bus dalam kota yang ditumpanginya itu terbang dan bepergian ke tempat-tempat jauh. Ia tidak pernah bicara, sepatah kata pun. Bahkan mulutnya tak pernah terbuka, seakan-akan mulut itu tak benar-benar ada. Jika ia ingin mengatakan sesuatu, ia memilih melakukannya lewat tindakan, atau lewat ikan-ikan itu, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi bintik-bintik cahaya atau menjadi titik-titik hujan yang berjatuhan. Kadang ia menjahit sesuatu serupa boneka, dengan menggunakan benang-benang dan jarum miliknya yang sepertinya istimewa. Pernah suatu kali, hasil-hasil jahitannya itu konon membentuk galaksi, di ruang angkasa yang selalu terasa luas dan tak terbatas.

Dalam kunjungan-kunjungannya ke Bumi, ke dunia, Beliau si sesuatu semacam tuhan ini kerap berhadapan dengan sesuatu yang tidak disukainya yang membuatnya kesal, sedih, bahkan marah. Kadang Beliau tampak acuh tak acuh saja. Kadang, Beliau merespons sesuatu itu dengan tindakan. Pada masa Holocaust Beliau membiarkan sesosok remaja perempuan memasuki bus dalam kota yang disayanginya itu dan membawa si remaja perempuan ke tempat yang jauh, pada masa yang lain Beliau menghampiri seorang lelaki dewasa dan menjahit salah satu mata si lelaki sebagai ganjaran atas perbuatan buruk si lelakimenyakiti sesosok orang tua yang tak berdaya. Sebagai sosok yang mampu menciptakan dan menghancurkan, juga terbebas dari sistem yang mengekang apa-apa yang diciptakannya itu, Beliau lebih sering pasif, membiarkan kehidupan bergulir secara alamiah dan, dalam arti tertentu, mengabaikannya. Melakukan campur tangan atau aktif baru dilakukan oleh Beliau pada titik di mana ia merasa itu perlu. Dan sulit dipastikan, sayangnya, alasan utama di balik penilaiannya bahwa campur tangan itu perlu, apakah karena jika dibiarkan dampaknya akan sangat buruk atau semata karena Beliau tak mampu lagi menahan diri saja—seperti ia terlampau bersedih atau terluka atau semacamnya.

Menurut bus dalam kota si penutur di sepanjang cerita, Beliau adalah sosok baik yang memiliki hati bersih, yang memiliki Kasih, yang seolah-olah tanpa cela. Akan tetapi seiring berlalunya waktu, bus dalam kota itu menyadari, Beliau juga memiliki sisi gelap atau sifat yang kurang elok, yang dalam arti tertentu mengotori kesuciannya sebagai pencipta. Ia, misalnya, menghabisi si kecoa dari Rusia, Nadezhda, setelah mendapati si kecoa itu terus saja meragukan dirinya yang berdampak pada merasa sedihnya si bus dalam kota, sosok yang disayanginya; dan ia melakukannya setelah si kecoa menyadari kekeliruannya dan menunjukkan bahwa ia merasa bersalahdan berdosa. Kali lain, dari tokoh lain dalam cerita, bus dalam kota itu mengetahui bahwa Beliau, si pencipta yang memiliki Kasih itu, tak akan segan-segan menghukum bahkan memusnahkan ciptaan-ciptaannya yang didapatinya menyakiti ciptaan-ciptaan kesayangannya, sosok-sosok yang dikasihinya, seperti apa yang dilakukannya pada peristiwa yang akan mengingatkan kita pada penghancuran Sodom dan Gomora.

Menjelang cerita berakhir, si bus dalam kota itu memperoleh juga pemahaman lain tentang Beliau, yakni bahwa Beliau, rupa-rupanya, tidaklah sepenuhnya terbebas dari sistem yang tadi disinggung itu, bahwa ternyata Beliau bisa juga merasa kehilangan dan merasakan sakit yang sangat dalam dan menderita dan kemudian tenggelam dalam penderitaannya itu. Ini dipahami si bus dalam kota ketika ia telah hanya serpihan-serpihan tak berarti, di mana sesosok anak lelaki lain serupa Beliau menghancurkannya setelah sebuah aksi kejar-kejaran yang luar biasa di luar angkasa. Ia merasakan Kasih Beliau mengalir ke dalam dirinya, dan ia menyaksikan Beliau menangis, dan Beliau tak berhenti. Si pencipta, sosok yang berkuasa atas segala apa pun yang diciptakannya itu, di hadapan si bus kota, di titik ini, seakan-akan ia pun adalah ciptaan belaka. Seperti ada sesuatu pencipta lagi di atasnya, yang tak pernah diketahui oleh tokoh-tokoh (lain) dalam cerita.


Dari bagaimana ia digambarkan di sepanjang cerita, kita mendapati bahwa Beliau adalah sesosok tuhan yang ambigu, yang paradoks dan, dalam arti tertentu, sangat sulit dimengerti. Ia konon berkuasa atas segala ciptaannya, namun ia membiarkan sesosok anak lelaki istimewa lainyang sepertinya juga ciptaannyamenghancurkan dunia ciptaannya lantas mengejar-ngejarnya dan berusaha melukainya, seakan-akan ia tak sepenuhnya memiliki kuasa atas dunia ciptaannya itu dan anak lelaki tersebut. Ia sosok yang baik, yang memiliki Kasih, yang dengan itu ia kerap menolong atau menghibur ciptaan-ciptaannya yang tengah menderita, namun ia sewaktu-waktu bisa juga menghabisi ciptaan-ciptaannya tanpa belas kasihan, hanya karena ciptaan-ciptaannya itu dinilainya menyakiti ciptaan-ciptaannya yang lain yang dikasihinya. Ia menciptakan Bumi dan alam semesta dan manusia yang hidup di dalamnya, yang konon disayanginya dan diistimewakannya, tetapi ia membiarkan segala sesuatu itu hancur oleh ciptaannya yang lain dan setelah itu ia menderita, dan ia menangis sekian lama, sebelum kemudian menciptakan semua itu lagi. Sesosok tuhan yang aneh, dan sulit dimengerti.

Barangkali, sosok Beliau ini mengingatkan kita pada sosok dan konsep tuhan dalam sejumlah agama besar, seperti Islam, Kristen, dan Buddhisme. Dalam Islam, misalnya, diyakini bahwa tuhan adalah diri yang tunggal dan unik, yang satu-satunya dan tiada duanya, yang berada dalam sebuah ruang-hidup yang berbeda dengan segala ciptaannya, yang memiliki kuasa atas ciptaan-ciptaannya itu dan ia bisa sewaktu-waktu sesuka hatinya melakukan campur tangan, mengubah atau menguatkan arah gerak kehidupan ciptaan-ciptaannya. Sosok Beliau, kurang lebih, seperti itu. Telah dijelaskan tadi bahwa ia sesekali merespons orang-orang yang dinilainya burukcampur tangan. Berdasarkan keterangan dari si bus dalam kota, Beliau adalah satu-satunya sosok yang tidak bisa ia baca isi hati dan jalan pikirannya sebab meski wujudnya serupa sesosok anak kecil tetapi tak pernah ia menjejakkan kakinya ke badan-lantai si bussatu-satunya dan tiada duanya. Selain itu, ia juga selalu memilih untuk tidak mengatakan secara langsung kepada ciptaannya ketika ada sesuatu yang ingin dikatakannya, melainkan ia, dengan cara-caranya yang misterius dan khas, membuat ciptaan-ciptaannya yang lain mengatakan hal tersebut, sehingga kita mengetahui hal-hal tentangnya tidaklah dari dirinya secara langsung melainkan dari ciptaan-ciptaannya, salah satu konsep tuhan lainnya yang tergambarkan di Islam. Satu lagi, jika perlu disebut di sini, adalah keterangan bahwa Beliau menahan diri dari menunjukkan wujud-dirinya yang seutuhnya sebab jika Beliau melakukannya ciptaan-ciptaannya itu pastilah akan hancur sebab tak mampu menampung wujud-diri Beliau yang seutuhnya itu; sebuah konsep tuhan lainnya yang juga tergambarkan dalam Islam.

Tetapi ada satu hal dari Beliau yang tidak sesuai dengan konsep tuhan dalam Islam, yakni bahwa Beliau, sang pencipta yang maha segalanya itu, mewujudkan dirinya dalam sesosok anak kecil. Dalam hal ini ia mungkin lebih dekat dengan konsep tuhan dalam Kristen. Tuhan turun ke dunia, menyaru sebagai salah satu ciptaannya; sewaktu-waktu ia hanya mengamati sewaktu-waktu ia melakukan sesuatumenolong atau menghukum ciptaannya. Tetapi tuhan yang satu ini kemudian terlihat hanya menaruh perhatian dan Kasih-nya pada sebagian ciptaannya saja; ia bahkan seperti peduli tak peduli ketika begitu banyak ciptaannya tersesat dan setelahnya terjerembap dan pada akhirnya hancur sebagai diri yang rusak. Ia tak menyelamatkan mereka, dengan kata lain. Ia tidak membangkitkan mereka pada Hari Penghakiman dan membersihkan mereka untuk kemudian memasukkan mereka ke surga, membiarkan mereka menjalani kehidupan menyenangkan yang kekal di sana, di dalamnya. Juga, ia seperti bukan sosok yang benar-benar kuat. Ketika dunia dan ciptaan-ciptaannya itu hancur ia terdiam dan menangis, menangis dan menangis. Tuhan dalam arti tertentu bukanlah sosok yang terlepas dan terbebas dari kehidupan ini. Ia, seperti masih terjebak di dalam siklus penderitaan, layaknya sosok tuhan dalam Buddhisme.

Tetapi untuk mengatakan ia sesosok tuhan dalam Buddhisme pun tidaklah tepat, bahkan keliru, sebab tuhan dalam Buddhisme bukanlah yang menciptakan kehidupan ini; justru mereka pun berada di dalamnya, ikut menjalani kehidupan layaknya ciptaan-ciptaannya. Selain itu, tuhan dalam Buddhisme diyakini mengalami kelahiran kembali, reinkarnasi, sementara Beliau sepertinya terbebas dari hal tersebut. Lantas sosok tuhan seperti apa sebenarnya Beliau itu? Beberapa interteks yang ditampilkan di cerita mengaitkannya erat dengan sosok tuhan dalam Islam dan Kristen, tetapi tadi sudah terlihat ada beberapa hal kontradiktif tentang hal ini yang menyangkalnya. Satu hal yang jelas, dalam arti tertentu, ia sesosok tuhan yang membiarkan ciptaan-ciptaannya rusak dan hancur-lebur.

Tentang pembiaran tersebut, kita mungkin jadi teringat pada sosok tuhan dalam bayangan para jemaat Saksi Yehuwa. Mereka meyakini, bukan tuhan yang selama ini berkuasa atas dunia dan kehidupan ini, melainkan sang fasik, iblis, yang karena itulah hal-hal buruk dan busuk kerap terjadi di dunia ini, dialami ciptaan-ciptaannya, dan seakan-akan tiada akhirnya. Tuhan dalam bayangan para jemaat Saksi Yehuwa adalah tuhan yang baik, yang dewasa, yang sangat menyayangi ciptaan-ciptaannya, terutama manusia. Diyakini bahwa pembiaran yang dilakukannya itu bukanlah karena ia peduli tak peduli pada manusia, melainkan karena ia ingin manusia menjadi dewasa secara alamiah, menjadi dewasa karena pengalaman dan pemahamannya sendiri. Tuhan dalam bayangan para jemaat Saksi Yehuwa, dengan kata lain, adalah sesosok orang tua yang menahan dirinya dari menjadi otoriter.

Atau bisa juga, kita justru teringat pada sosok tuhan dalam Injil Yudas. Di dalam injil non-kanonik kontroversial ini dikatakan bahwa tuhan yang selama ini disembah manusia bukanlah tuhan yang sesungguhnya, melainkan salah satu ciptaan dari tuhan yang sesungguhnya; sesosok ciptaan yang diberi kemampuan untuk menciptakan dan menjadi seperti tuhan, dengan batas-batas tertentu. Dan tentu saja, tuhan dalam definisi ini tidaklah harus tuhan yang ideal, yang dewasa, yang maha segalanya dan tanpa cela. Sebaliknya, ia bisa jadi tuhan yang remaja, yang pilih kasih, yang pemalas, yang mudah bosan, yang tidaklah benar-benar memahami apa yang dilakukannya. Dan sosok Beliau, dalam Semua Ikan di Langit, sedikit-banyak beririsan dengan definisi tersebut.


Apa yang barusan panjang-lebar kita uraikan membawa kita pada satu dugaan bahwa, bisa jadi, yang berusaha ditawarkan Ziggy dalam novelnya itu adalah tuhan sebagai sosok yang tidak terangkum atau tergambarkan dengan tepat dalam agama-agama yang ada sejauh ini. Ia sesosok tuhan yang lain, yang berbeda dari apa yang selama ini kita bayang-bayangkan, yang kita yakini dengan segenap hati. Tuhan memang selama ini didefinisikan dalam kitab-kitab suci, yang konon terjaga sepanjang zaman kebenarannya, namun bagaimana jika ternyata ia yang sebenarnya tidaklah seperti itu?

Tentang upaya mendefinisikan tuhan, dan kecenderungan kita meyakininya, dari apa kira-kira ia bermula? Mungkin harapan. Ya, harapan. Kita berharap ada kehidupan yang lebih baik dan karena kita menyadari kita tak akan mampu mewujudkannya dengan segala keterbatasan kita maka kita berharap ada tuhan yang sangat baik dan berpihak kepada kita dan kelak mewujudkannya, untuk kita. Demikianlah kita mendefinisikan tuhan sebagai sosok yang menyayangi kita, bahkan mengistimewakan kita, yang telah menyiapkan untuk kita sebuah ruang-hidup yang penuh kesenangan dan ketenangan seperti surga, nirvana, atau semacamnya. Demikianlah kita juga meyakini bahwa tuhan, pada akhirnya nanti, akan menyelamatkan kita yang beriman dan berserah padanya, bahwa segala penderitaan dan kebusukan yang kita alami di kehidupan ini akan terbayar pada hari yang dijanjikan itu, dan di sana kita akan bahagia, senantiasa bahagia. Demikianlah kita pun kerap habis-habisan membelanya, memperjuangkan citranya yang bersih dan suci, seperti kita meyakini bahwa jika tuhan ternyata kotor (seperti kita) maka harapan kita akan adanya kehidupan yang lebih baik itu akan berbalik melukai kita, membuat kita remuk-redam, kusam-padam. Dan konyolnya, kita pun kemudian bertindak lebih jauh lagi: (1) berusaha membuat manusia-manusia lain mendefinisikan tuhan sebagaimana kita mendefinisikannya; (2) mengutuk dan membusuk-busukkan manusia-manusia yang bersikeras memegang pendefinisiannya sendiri yang berbeda dengan pendefinisian kita (akan tuhan).

Pertanyaannya sekarang sederhana: bagaimana jika tuhan, ternyata, bukanlah sosok yang bersih-suci dan berpihak kepada kita seperti yang selama ini kita yakini? Apakah kita tetap akan melihat ia sebagai tuhan? Apakah kita akan tetap menyembahnya, menghamba padanya, menjilat padanya, memuja-mujanya? Atau kita menolaknya habis-habisan, menjadi diri yang fasik, yang sampai akhir hayat pun tak membiarkan diri kita patuh kepadanya? Jawaban kita atas pertanyan ini pastilah menarik. Ia akan menentukan bagaimana setelah ini kita menjalani hidup, dan untuk (si)apa sebenarnya kita hidup. Tentu saja, kita pun bisa memilih untuk tak menjawabnya.(*)

Bojongpicung, 4 Juni 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *