Seandainya kita tidak membaca novel 24 Jam Bersama Gaspar sampai selesai, misalkan kita berhenti di bab ketujuh, kita tentu tidak akan tahu bahwa di balik rencana perampokan yang menjadi daya tarik sekaligus ruh di sepanjang cerita, sesungguhnya ada sesuatu yang jauh lebih penting dari itu, yakni kepedihan dan penderitaan si tokoh utama, Gaspar, yang mendorongnya merencanakan perampokan tersebut. Kotak hitam dan seorang anak perempuan bernama Kirana. Di bab-bab sebelumnya, memang Gaspar sempat menyinggung kedua hal ini, akan tetapi ia tidak mengemukakannya dengan sebuah nada muram yang akan membawa kita kepada kesedihan. Kemuraman itu tidak cukup kuat, kalaupun memang ada di sana. Sedari awal Gaspar mencitrakan dirinya sebagai sosok kuat yang menolak terbawa larut dalam masalah dan sebisa mungkin bertindak sesuka hati tanpa memedulikan (ketidaknyamanan) orang lain. Ia gemar sekali menyodori kita kalimat-kalimat lucu, memancing kita tersenyum bahkan tertawa menertawakan tokoh-tokoh lain—meski ia sendiri tidak tertawa. Kalau saja bab kedelapan itu tidak ada, kita tidak akan sampai pada pemahaman bahwa di balik pembawaan Gaspar yang menyebalkan itu rupanya tersembunyi sebuah diri yang (sangat) sensitifterhadap penderitaan orang lain.
Memasuki bab kedelapan, tepatnya setelah kotak hitam dan kisah tragis Kirana dimunculkan dengan tensi tinggi, kepedihan dan rasa sakit Gaspar itu terasa. Gaspar yang selama tujuh bab sebelumnya terbilang cuek dalam menghadapi masalah, kali ini begitu mudah terpancing. Ia pun bahkan jadi emosional; jika biasanya dalam merespons sesuatu yang membuatnya sebal ia hanya akan melontarkan sebuah olok-olok konyol, kali itu ia mengemukakan apa yang mengusiknya itu secara terang-terangan, dengan nada dan kesungguhan yang menekan. Itu tercermin, misalnya, di perkataannya ini: “Kaulah yang membunuhnya. Kau paksa dia menikahi mitra bisnismu, padahal usianya baru dua belas. Dua belas tahun! Dia bahkan belum mendapat menstruasi pertamanya. Sialan. Seharusnya kau kukunci dalam satu ruangan bersama Adolf Hitler dan Soeharto supaya kau terus mendengar ocehan narsis mereka seumur hidup.”
Kita tentu bisa membedakan tingkat kekesalan Gaspar di sana dengan di perkataan-perkataannya di bab-bab sebelumnya. Bahkan, ada kemarahan di sana; kemarahan yang seperti telah cukup lama ditahan-tahan dan dipendam. Ini cukup mengejutkan, saya kira, mengingat citra Gaspar yang selengean dan peduli-tak-peduli tadi itu, di selama tujuh bab cerita berjalan, begitu dominan dan natural.
Di bab kedua, kotak hitam itu sebenarnya sudah muncul; Gaspar sendiri yang mendeskripsikannya kepada kita. Akan tetapi saat itu, Gaspar masih sangat membatasi diri, di mana ia seperti sangat berhati-hati untuk tidak membuat kita curiga bahwa ada kisah muram seorang anak perempuan di balik kemunculan kotak hitam tersebut. Bahkan, tingkat kehati-hatian Gaspar ini begitu tinggi, sebab kita pada saat itu tidak merasakan kesedihan atau kepedihan apa pun. Kotak hitam tersebut misterius. Hanya itu. Sempat juga memang Gaspar membawa perhatian kita kepada kotak lain yang di atasnya ada foto seorang anak kecil, si anak yang kelak kita tahu bernama Kirana itu. Akan tetapi, sekali lagi, pada saat itu Gaspar tidak menghadirkan kesedihan; sama sekali tidak. Kita mungkin langsung curiga ada sesuatu di balik kotak hitam tadi, tapi tidak dengan si anak perempuan di foto.
Setelah kita sampai di bab kedelapan, di mana kita tahu betul seperti apa hubungan antara kotak hitam itu dengan si anak perempuan di foto, juga kesedihan dan kepedihan Gaspar, kita menjadi paham: kesedihan itu ada, kepedihan itu ada; nyata. Dan mengingat di sepanjang cerita Gaspar terlihat begitu rileks dan terkadang lucu, kita pun menjadi paham bahwa kesedihan dan kepedihan itu ditekan Gaspar kuat-kuat supaya tidak muncul ke permukaan, supaya ia tidak terlihat sedih dan muram dan semacamnya.
Kita bisa juga mengatakan bahwa Gaspar, di sepanjang cerita sebelum ia menjadi begitu emosional di bab kedelapan tadi, berusaha membuat kesedihan dan kepedihannya itu seolah-olah lenyap, seolah-olah absen. Pertanyaannya kemudian: cara apa yang ditempuh Gaspar untuk melakukannya?
Saya kira siapa pun akan sepakat bahwa yang membuat kesedihan dan kepedihan itu tidak terasa adalah karena Gaspar gemar sekalisaking gemarnya kita bahkan melihat hal ini sebagai ciri khasnya atau bagian dari dirinyamendeskripsikan seseorang atau sesuatu yang tidak begitu disukainya dengan cara menyindirnya atau mengolok-oloknya, dan ia cenderung memilih kalimat deskriptif yang menggelitik yang bisa memancing kita tertawa atau setidaknya tersenyum. Di halaman 38, misalnya, Gaspar menulis seperti ini: Karena hanya mengenakan satu helm, aku memutuskan untuk tidak lewat jalan utama. Sudah hampir pukul empat sore; langit mulai teduh, jalan raya dipenuhi pengemudi-pengemudi kelelahan sepulang kerja, dan ini tanggal muda. Kalau aku jadi polisi tentu aku akan berpikir inilah waktu yang tepat untuk menambah uang saku. Di halaman 93, ia menulis ini: Aku melirik ke bawah jembatan, arus tenang menyiratkan kedalaman, dan sungai baru dibersihkan, tidak ada batang-batang kayu atau bambu atau batu-batu besar; kalau ia bermaksud bunuh diri tentu ia memilih tempat yang salah, mustahil orang itu mati kecuali Enola Gay menjatuhkan Little Boy ke jembatan ini. Kalimat-kalimat satire dan menggelitik semacam itu bertebaran di sepanjang cerita; ini membuat nuansa cerita menjadi ceria, atau cerah. Kesedihan dan kepedihan itu tidak terasa; tidak muncul dan terasa di sana. Dengan sendirinya kita pun menilai Gaspar di sepanjang cerita adalah sosok yang menikmati hidupnya, yang tidak menderita, yang bahagia dengan caranya sendiri.
Namun seperti yang kita pahami tadi, ketika kita tiba di bab kedelapan, kita memahami bahwa Gaspar, di sepanjang tujuh bab itu, sesungguhnya tidak bahagia. Justru ia menderita, dan itu terlihat jelas saat kita disuguhi desakan-desakan emosional Gaspar kepada Wan Ali di awal bab kedelapan. Maka apa yang dilakukan Gaspar di sepanjang cerita tadi, di mana ia membuat nuansa cerita menjadi cerah dan ceria, bisa kita anggap sebuah upaya untuk mengalihkan perhatiannya dari penderitaannya itu; sebuah upaya untuk membuat rasa sakit yang pasti timbul dari penderitaan itu tidak terasa ada, atau absen. Ini bisa kita kaitkan dengan pernyataan Socrates soal kebahagiaan, bahwa sebagian besar kesenangan sesungguhnya bukanlah kesenangan, melainkan hanyalah hasil dari absen atau tak terasanya rasa sakit.
Di titik ini kita bisa sewenang-wenang menyimpulkan bahwa, bagi Gaspar, melontarkan kalimat-kalimat satire-nan-menggelitik dan memancing kita tertawa adalah demi teralihkannya perhatiannya, juga perhatian kita, dari kisah tragis Kirana, juga dari kepedihan(-kepedihan) lainnya yang hidup di dalam dirinya, seperti betapa mengerikannya hidup dalam kesepianGaspar pernah menyinggung ini saat ia memberi tahu kita sedikit masa lalu Budi Alazon.
Dalam psikologi positif, khususnya teori kebahagiaan autentik (authentic happiness) yang dipopulerkan oleh Martin Seligman, apa yang dilakukan Gaspar ini bisa disebut sebuah cara untuk beroleh hidup yang menyenangkan (pleasant life), yang adalah tahap pertama dari kebahagiaan autentik. Selanjutnya, karena ia tahu semakin sering ia melakukannya semakin sering pula ia teralihkan dari kepedihan dan rasa sakitnya itu, ia pun (mungkin) mulai menjadikannya rutinitasnya, sesuatu yang kontinu dan intens, yang pada akhirnya menjadi bagian dari dirinya, di mana ia melakukannya secara spontan dan automatis, bukan lagi sebuah kesengajaan. Dan ini tentu menguntungkannya, sebab tanpa perlu berusaha begitu keras lagi perhatiannya sudah teralihkan dari kepedihan dan rasa sakitnya itu, dan itu berarti ia bisa mengerahkan energinya untuk melakukan hal-hal lain yang baik baginya. Sebuah kehidupan yang baik (good life), dengan kata lain, yang adalah tahap kedua dari kebahagiaan autentik. Selanjutnya, sebab apa yang dilakukannya itu mampu membuat kita terhibur dan beroleh kesenangan, juga bahwa di bab kedelapan ia membawa hal-hal baik ke hadapan orang-orang yang dilibatkannya dalam rencana perampokan itu, ia pun mencapai tahap ketiga, yakni kehidupan yang berarti (meaningful life), di mana ia memberdayakan dirinya dan apa yang ada padanya untuk membantu membuat orang-orang lain beroleh kebaikan dan kesenangan. Dengan begitu, logikanya, kebahagiaan autentik itu tercapai. Maka barangkali, meski di akhir cerita Gaspar kemudian mati, kita bisa berkata bahwa ia mati dalam keadaan bahagia. Mati bahagia. Di titik ini jika kita sependapat dengan Aristoteles bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di akhir dan meliputi perjalanan hidup seseorang maka kita bisa berkata seperti ini: kebahagiaan (autentik) Gaspar di akhir cerita adalah kebahagiaan yang sebenarnya (happiness), bukan semata kesenangan (pleasure). Pertanyaannya kemudian sederhana: apakah kita pun akan mengatakan hal yang sama terkait diri kita setelah kita membaca 24 Jam Bersama Gaspar hingga selesai? Apakah mengikuti kisah Gaspar, pada akhirnya, membawa kita pada kebahagiaan (autentik), atau sekadar memberi kita kesenangan-kesenangan?(*)
Ulasan ini termaktub dalam buku Pintu Masuk Menuju Teks yang Lain (JBS, 2020)