Kisah Sedih Kasane

Masih dengan tangan berlumuran darah, Kasane meraih ponselnya yang kembali berdering. Di layar ponsel nama seseorang yang dicintainya muncul: Murayama Saki. Kasane tahu perempuan itu kini sedang menunggunya di Stasiun Akihabara; mereka telah berjanji untuk bertemu di sana tepat pukul tujuh dan dari sana mereka akan berjalan sebentar ke Don Quixote–di sana mereka akan naik ke lantai 8 di mana teater AKB48 berada. Kasane merasa bersalah; ia tergerak untuk menerima panggilan tersebut dan melontarkan permintaan maaf. Akan tetapi, ia tahu, saat ini ia sebaiknya tak melakukannya.

Kasane menaruh ponselnya di meja dan membiarkannya terus berdering. Untuk beberapa lama ia terdiam menatap televisi, mencoba menerka-nerka apa yang sedang dipercakapkan dua orang perempuan yang muncul di sana, juga memikirkan apakah sesuatu yang dipercakapkan itu benar-benar penting atau tidak. Ponselnya berhenti berdering saat dua orang itu berciuman. Kasane menikmati adegan ini, meski air mukanya datar saja.

Ke kamar apartemen ini, hampir satu jam yang lalu, Kasane masuk sebagai tamu. Si tuan rumah adalah seorang lelaki yang dikenalnya lewat goukon, sebuah acara ngobrol-ngobrol yang diikuti sejumlah lelaki dan perempuan yang sedang sama-sama mencari pasangan. Ia saat itu sebenarnya tak berniat ikut serta; ia ada di sana karena seorang teman baiknya, Ruri, membutuhkan kehadirannya untuk membantunya mengatasi rasa gugup. Tiga hari setelahnya ia dan si lelaki bertemu di Shinjuku; mereka berpapasan saat Kasane sedang menuju halte sedangkan si lelaki ke kantornya. Si lelaki mendesaknya memberikan alamat surel; sesuatu yang juga dilakukannya tiga hari sebelumnya. Kasane sedang buru-buru dan ia mengabulkan permintaan si lelaki untuk mengenyahkannya.

Kasane tahu lelaki itu menyukainya. Dari cara si lelaki menatapnya di goukon tempo hari, Kasane sudah bisa memastikannya. Ruri beberapa kali mengatakan padanya ia memang memesona; sosoknya yang tinggi semampai dinilai Ruri mampu membuat lelaki-lelaki yang mengamatinya menelan ludah, sambil di benak mereka mungkin membayangkan melakukan hal-hal nakal dan brengsek dengannya. Di sebuah pasca persenggamaan, di kamar apartemennya, Saki membisikkan di telinganya betapa ia mungkin akan tersiksa rasa cemburu seandainya postur tubuh Kasane yang menggiurkan itu juga didukung raut muka dan cara bicara seorang hostess. Sebab dengan itu kamu akan membuat lelaki-lelaki yang kamu temui menyukaimu dalam sekejap. Begitu Saki menambahkan. Kasane tak membantahnya, meski di saat yang sama juga tak membenarkannya. Jujur saja ia lebih suka dirinya tak menonjol dan tak menarik perhatian siapa pun.

Tiga belas hari setelah meeru pertama si lelaki tiba di ponselnya, Kasane kembali berpapasan dengannya di Shinjuku. Waktu yang nyaris sama, dan trotoar yang juga nyaris sama. Kali ini mereka mengobrol sebentar; si lelaki terlihat jauh lebih pede sebab dalam tiga belas hari sebelumnya Kasane selalu membalas pesan-pesannya. Ia selalu tersenyum saat menatap Kasane. Sepasang matanya, yang selalu terlihat segar dan tajam itu, beberapa kali membuat Kasane terpaksa mengalihkan pandangan ke hal-hal lain.

Meski di luar terkesan dingin dan tak peduli, Kasane sebenarnya tipe orang yang sulit mengabaikan orang-orang yang baik kepadanya. Itulah kenapa setiap kali lelaki itu mengiriminya meeru Kasane selalu membalasnya. Apa-apa yang dikatakan si lelaki di meeru tak pernah sesuatu yang buruk atau kurang pantas; bahasa yang digunakannya juga santun, meski tentu tidak kaku. Kasane menghargai upaya si lelaki untuk senantiasa menjaga diri ketika berinteraksi dengannya, dan karena itulah ia tak pernah keberatan mengetik pesan-pesan balasan yang beberapa di antaranya lumayan panjang; pasalnya meeru yang dikirim si lelaki sebelumnya jauh lebih panjang. Ia ingat, di salah satu meeru, si lelaki bercerita tentang seekor anjing tipe husky yang dulu pernah dipeliharanya, yang suatu ketika tiba-tiba menghilang dan muncul bertahun-tahun kemudian dalam keadaan kurus-kering dan penuh bekas luka. Lelaki itu berkata ia sangat berharap saat itu si anjing bisa bicara dalam bahasa manusia, atau ia tiba-tiba diberi kemampuan untuk memahami bahasa anjing. Dengan itu aku bisa tahu ke mana saja ia pergi dan apa saja yang dilaluinya selama itu sampai-sampai ia jadi seperti itu—memperihatinkan dan membuatku sedih, tambahnya. Beberapa minggu kemudian, konon si anjing mati, dan si lelaki menguburnya di halaman belakang rumah dengan tangannya sendiri. Si lelaki mengaku setiap tahunnya ia memperingati kematian anjingnya itu dengan menulis surat yang ditujukannya pada si anjing. Tentu saja, surat-surat itu disimpannya sendiri.

Kasane tidak punya banyak teman lelaki dan ia tidak pernah menjalani sebuah hubungan yang intim dengan lelaki. Tidak pernah. Tapi dari Saki, maupun dari Ruri, ia kerap mendengar cerita-cerita tentang lelaki; seperti apa makhluk yang satu ini melihat perempuan dan yang lainnya dan yang lainnya. Tidak selalu buruk, memang, tapi apa-apa yang disimaknya dari Saki dan Ruri itu telah membuatnya yakin ia tak menyukai lelaki; ia bahkan memutuskan untuk sebisa mungkin menghindarkan diri dari menjalin hubungan yang istimewa dengan lelakisiapa pun itu. Apa-apa yang ditunjukkannya mungkin baik, bahkan manis dan menarik simpati. Tapi kita tak pernah tahu seperti apa diri yang tersembunyi di baliknya. Bisa jadi begitu busuk, begitu pernah ia bicara, kepada dirinya sendiri, saat bercermin. Lama-lama Kasane menegaskan bahwa setiap lelaki memiliki potensi untuk berbohong, terutama saat berhadapan atau berinteraksi dengan perempuan. Karena itulah cerita sedih si lelaki tentang anjing tipe husky tadi, dianggapnya, bualan belaka.

Tapi meskipun begitu Kasane tetap merespons si lelaki seolah-olah ia percaya kisah itu benar ada. Jika ditanya kenapa ia melakukannya, ia akan menjawab seperti ini: bahkan bualan sekalipun perlu diapresiasi dengan baik jika ia disajikan dengan cara yang baik. Kasane mengakui cara si lelaki bercerita dan bertutur sangatlah rapi, membuatnya mudah mengikutinya dan merasa nyaman. Mungkin ia terbiasa menulis, atau membaca novel-novel bagus, atau bahkan seorang penulis, begitu Kasane menduga. Di meeru balasannya itu sendiri Kasane mengatakan ia tidak menyukai anjing atau binatang manapun tetapi secara spontan ia merasakan dorongan yang kuat untuk membayangkan anjing itu dalam benaknya dan menghampirinya dan memeluknya. Si lelaki, lantas mengirim meeru balasan seperti ini: Di peringatan kematiannya nanti aku akan mengajakmu ke rumah orangtuaku. Di halaman belakang rumah itu, di tempat aku menguburkan anjingku itu, kita akan berdoa bersama-sama.

Setelah obrolan dengan si lelaki selesai, Kasane jadi memikirkan meeru tersebut. Pergi ke rumah orang tua si lelaki, duduk berdoa di halaman belakang rumah itu. Bukan sesuatu yang buruk, memang, tapi ia tak menginginkannya. Ia lantas teringat bahwa dalam tiga tahun terakhir ia selalu menemani Saki berdoa di depan makam ibunya; dengan tangan tertangkup dan kepala tertunduk ia memejamkan mata dan membayangkan ibunya Saki itu masih hidup dan berdiri di depannya, persis di hadapannya, dan tersenyum menatapnya. Apa arti kehidupan ini bagi orang-orang yang sudah mati? Begitu ia bertanya-tanya di kali terakhir, lima bulan lalu. Saki selalu begitu hening saat melakukan ritual ini. Mengamatinya, Kasane semakin yakin ia memang sudah semestinya mencintai Saki.

Menurutmu mana yang lebih tepat? Merelakan kepergian seseorang dan melupakan ia pernah ada dalam kehidupan kita, atau berusaha sebisa mungkin agar seseorang itu kembali ada di kehidupan kita? tanya Ruri, padanya, suatu malam. Ia tahu konteks pertanyaan tersebut adalah hubungan percintaan yang kandas antara dua orang yang sudah lama bersama dan saling mencintai, tapi malam itu, sebab teringat pada ritual tahunan Saki dan kisah sedih anjing lelaki tadi, ia jadi mengarahkan pertanyaan tersebut ke kematian. Ia berdiri sendirian, di halte. Ketika menengadah ia mendapati langit begitu hitam. Ia lantas bertanya-tanya akan seperti apa kehidupan ini di matanya jika ia adalah langit yang hitam itu.


Sebelas hari sebelum menyadari ia mulai menyukai si lelaki, Kasane berkencan dengan Saki dan di kencan mereka itu Saki memintanya berjanji untuk menemaninya menonton aksi panggung AKB48 malam ini, hampir satu bulan kemudian. Kasane sebenarnya ingin menolaknya, tetapi ia sudah terlalu sering melakukannya, dan ia entah kenapa merasa yakin saat itu Saki benar-benar berharap ia mengabulkan permintaannya itu; seperti Saki akan ngambek dan mendiamkannya berminggu-minggu jika ia tak melakukannya. Meski terpaksa, ia mengatakan ia berjanji; malam ini akan menemani Saki memasuki teater AKB48 di Don Quixote, Akihabara. Ia begitu bahagia melihat Saki di depan matanya tersenyum. Di obrolan mereka beberapa hari kemudian, Saki memberitahu Kasane bahwa di tanggal mereka akan bertemu di Stasiun Akihabara itu Tim B mungkin akan merayakan ulang tahun Mayuyu, member AKB48 kesayangannya; sesuatu yang langsung direspons Kasane dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

Seharusnya malam ini ia memenuhi janjinya. Di Stasiun Akihabara, ia akan menunggu Saki, dan setelah Saki muncul mereka akan berjalan riang sambil bergandengan tangan, bahkan mungkin sesekali berciuman. Tapi kini ia ada di sini, di apartemen si lelaki; jauh dari Akihabara. Si lelaki itu sendiri sudah tergeletak tak bernyawa di lantai dapur, dengan darah merah-kental mungkin masih membual dari perutnya. Kasane sudah menikamnya, berkali-kali. Kini ia sedang memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan mayat si lelaki.

Tentu saja Kasane tak pernah menduga ia akan menjadi seorang pembunuh. Dengan tangannya sendiri, dengan maksud melakukan perlawanan, ia telah meraih pisau yang kebetulan berada dalam jangkauannya, dan tanpa pikir panjang ia telah menusukkan pisau itu ke perut si lelaki, dan ia kembali melakukannya hingga lebih dari lima kali. Ketika ia tersadar apa yang dilakukannya itu bisa menghilangkan nyawa si lelaki, ia membelalak, dan melepaskan pisau itu; pisau itu pun jatuh ke lantai dengan bunyi kering yang seperti menyayat kulit pipi. Kasane mendorong si lelaki dan si lelaki ambruk. Setelah si lelaki tak lagi bergerak, Kasane mengenakan kembali celana dalamnya yang tertahan di lutut. Tak lama kemudian ponselnya kembali berdering, dan ia bergegas ke ruang televisi.


Kasane ingat tiga belas hari yang lalu lelaki itu memberitahunya lewat meeru bahwa ia sedang berdiri di depan pintu kamar apartemennya dan membawa sesuatu yang mungkin akan disukainya. Awalnya Kasane mengira si lelaki mengerjainya, tetapi ketika ia mengintip lewat lubang di bagian atas pintu ia mendapati si lelaki di sana; berdiri memangku sesuatu yang tertutupi kain hitam. Kasane bimbang. Ia tahu sebagai bentuk kesopanan ia harus membuka pintu dan membiarkan lelaki itu masuk, tetapi seumur hidupnya sampai detik itu ia belum pernah berduaan di kamarnya dengan seorang lelaki, dan itu membuatnya cemasjuga gugup. Pada akhirnya Kasane membuka pintu, tetapi ia segera keluar dan menutupnya. Si lelaki lantas meminta Kasane menarik kain hitam yang menutupi sesuatu yang dibawanya itu, dan setelah Kasane melakukannya terkuaklah sesuatu itu: sebuah kue tar besar dengan lilin yang belum dinyalakan dan terbungkus plastik kaku. Selamat ulang tahun, Kasane-san, kata si lelaki, dan terang saja Kasane bingung; pasalnya hari ulang tahunnya masihlah seminggu lagi. Lagipula dari mana lelaki ini tahu tanggal ulang tahunku? pikirnya. Terlalu cepat seminggu, memang, tetapi aku ingin jadi orang pertama yang mengucapkannya tahun ini, di hadapanmu,” jelas si lelaki. Kasane tak tahu apa yang mesti dikatakannya. Bahkan, ia tak tahu apakah saat menyimak perkataan si lelaki itu mulutnya tertutup atau terbuka. Satu hal saja yang ia tahu: kecurigaannya seminggu sebelumnya bahwa ia mulai menyukai si lelaki terbukti benar.

Terus saling berkirim meeru setiap hari, Kasane mulai merasa di suatu titik rasa sukanya pada si lelaki bisa saja melebihi rasa sukanya pada Saki, dan ini membuatnya cemas. Akan tetapi, mungkin karena ia sedang mabuk kepayang, Kasane tak sedikit pun menahan diri. Sedikit-sedikit si lelaki mulai menggodanya dan ia tak menilai itu menjijikan; ia tetap membalas setiap meeru kiriman si lelaki bahkan sesekali membubuhkan emoticon. Ketika suatu hari si lelaki meneleponnya, ia mengangkatnya. Mereka kemudian bicara panjang lebar dan tertawa-tawa dan di akhir percakapan si lelaki mengajaknya bertemu, malam ini, di sebuah restoran Italia di Shinjuku. Meski sedikit ragu, Kasane menerima ajakan tersebut. Dan di hari yang disepakati itu mereka pun bertemu; mereka mulai makan ketika langit masih cukup terang dan meninggalkan restoran itu ketika langit mulai gelap. Si lelaki lalu membawanya ke kamar apartemennya, dan di sana mereka kembali mengobrol sambil sedikit minum-minum, sambil sesekali tertawa-tawa. Kasane tak pernah menyangka, benar-benar tak pernah menyangka, lelaki itu akan mencoba memerkosanya.


Untuk kesekian kalinya ponsel di meja itu kembali berdering. Kasane mengabaikannya. Ia malah mengambil remot dan menonaktifkan mode diam dan selanjutnya menaikkan volume televisi. Ia menyadari ia telah melupakan sesuatu yang teramat penting. Dan ia pun menyadari, setelah ini ia tak akan bisa menjalani hidupnya dengan cara yang sama. Tak akan, sebab ia telah melakukan sesuatu yang tak mungkin dilupakannya.

Tapi aku masih sangat mencintai Saki, ujarnya, dan segera rasa bersalah membuatnya sesak.

Ia mengaktifkan kembali mode diam, dan keheningan membuatnya teringat pada mayat si lelaki. Aku harus segera melakukan sesuatu, pikirnya, meski ia belum tahu apa yang dimaksudnya dengan sesuatu itu.(*)

Bogor, 25 Agustus 2016

Cerpen ini termaktub dalam buku Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku (DiVA Press, 2017)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *