Hiperrealitas dan Kekosongan

Hujan baru saja turun di Tokyo sore itu dan Nakajima-san membawa Saori masuk ke sebuah kedai. Ia memangku Saori dengan hati-hati dan membantunya duduk di salah satu kursi. Saori begitu cantik, begitu memesona. Nakajima-san mengubah posisi jari-jemari Saori, membuatnya seolah-olah Saori menumpukan separuh telapak tangan kanannya ke tepi meja.

Tinggi Saori barangkali 155 cm, dan postur tubuhnya terbilang ideal; atau sedikit terlalu ideal. Dan ia bukan manusia. Ia adalah rabu dooru–dari love doll. Boneka seks.

Kasih Sayang yang Melampaui

Umur Nakajima-san ketika itu 62 tahun. Ia tinggal bersama beberapa rabu dooru-nya, yang masing-masing tentu telah ia beri nama dan identitas. Ia menikah dan memiliki anak namun anaknya itu telah dewasa dan hidup mandiri di luar kota. Istrinya masih ada, masih sehat, dan masih istrinya, tetapi tak lagi tinggal bersamanya.

Bagi Nakajima-san, para rabu dooru-nya itu adalah segalanya. Ia mencurahkan kepada mereka perhatiannya, kasih sayangnya, waktunya, energinya. Semuanya. Sewaktu-waktu seperti telah terjadwalkan, istrinya menjenguknya dan mengecek kondisi kesehatannya dan memasakkan sesuatu untuknyajika sempat. Namun ia tak memberikan perhatian yang serupa kepada istrinya itu. Bahkan, dari apa yang tampak, ia seperti tidak begitu peduli istrinya itu masih ada atau tidak.

Sang istri bercerita tentang bagaimana dulu Nakajima-san mengajaknya doraibu–berkendara, berjalan-jalan dengan mobildan ketika mereka berhenti di dekat sebuah danau Nakajima-san melamarnya, mengajaknya untuk menikah. Dari senyum polos yang secara instingtif ditunjukkannya, agaknya peristiwa itu, juga tahun-tahun awal rumah tangga mereka, adalah momen-momen yang membahagiakannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa kelak suaminya itu akan memiliki hobi (shuumi) seperti itu.

Nakajima-san sendiri sesungguhnya sama: dirinya-ketika-masih-muda tak bisa memahami kenapa seseorang bisa hidup dengan sesosok boneka, memperlakukan boneka itu seakan-akan ia hidup dan memiliki ikatan yang kuat dengannya. Dan ternyata, ia malah menjalani sesuatu yang dulu tak bisa dipahaminya itu.

Sewaktu-waktu, selain ke kedai, Nakajima-san mengajak rabu dooru-nya itu doraibu ke pantai; di sana ia akan mendudukkan rabu dooru-nya itu di kursi roda dan menghadapkannya ke pantai, lantas memotretnya beberapa kali. Kadang, Nakajima-san juga mengajak rabu dooru-nya itu berlibur dan menginap di hotel. Mereka seperti berperan sebagai sepasang suami istri yang tengah merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka.

Di sebuah kamar hotel, di mana mereka menginap dalam liburan itu, Nakajima-san memandikan rabu dooru-nya dengan lembut dan penuh kasih. Di tempat tidur, Nakajima-san memosisikan rabu dooru-nya itu menghadapnya dan memeluknya, dan beberapa kali menciumnyadi bibir. Rabu dooru-nya itu tentu tak merespons ciumannya, dan tentu tak mengatakan apa pun; bahkan tak melakukan apa pun. Tetapi bagi Nakajima-san, itu semua sama sekali bukan masalah.

Kekosongan, Ikigai, dan Pengorbanan

Nakajima-san mengatakan bahwa ia menjaga dirinya tetap sehat agar ia bisa merawat para rabu dooru-nya itu. Jika ia jatuh sakit, atau bahkan meninggal dunia, ia meyakini para rabu dooru-nya itu akan telantar, dan ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Keberadaan para rabu dooru itu di dalam hidupnya dengan demikian menjadi alasan utama ia terus hidup. Dengan kata lain, ikigai-nya.

Bagi seseorang di usia Nakajima-san itu tentu sesuatu yang positif, terutama jika kita berpikir bahwa hidup ini adalah anugerah, dan karenanya seseorang harus sebisa mungkin bertahan hidup dan menikmatinya, menjalaninya dengan tenang dan bahagia. Dan itulah agaknya yang terjadi pada kasus Nakajima-san. Dan istrinya, bisa jadi, menyadari hal ini. Setidaknya itu bisa menjelaskan mengapa sang istri menerima kehidupan baru Nakajima-san dan terus menyayanginya, meski sejumlah hal di antara mereka tentu telah banyak berubah.

Pengorbanan sang istri ini sungguh tak masuk akal jika kita mendekatinya dengan feminisme. Alih-alih menerima pilihan Nakajima-san, ia semestinya membantu suaminya itu mengerti betapa pilihannya itu bisa membuatnya kesepian, kehilangan sesuatu yang krusial di dalam hidupnya, dan itu mungkin akan sangat menyiksanya.

Dan menarik sekali bahwa terkait kehidupan baru-nya ini Nakajima-san memberi tahu sang istri bahwa itu bukanlah sebentuk perselingkuhan atau pengkhianatan, dan ia berasumsi dengan alasan tersebut sang istri pun memafhuminya, dan karena itu ia bisa menjalani kehidupan baru-nya itu dengan tenang. Ada keterputusan komunikasi di sini. Memang di antara mereka ada interaksi, tetapi itu agaknya tidak sampai ke tahap komunikasi.

Tetapi mari kita coba berpikir seperti ini: sang istri, lambat-laun, menyadari bahwa menyayangi suaminya bukan saja sesuatu yang harus dilakukannya, melainkan juga sesuatu yang dibutuhkannya; sebab dengan melakukan itu ia merasa hidup yang dijalaninya ada artinya; bahwa eksistensinya itu berharga; bahwa ia ada, benar-benar ada, di kehidupan ini.

Maka di sini, pengorbanannya adalah juga perjuangannya. Dan dalam perjuangannya untuk terus hidup kehadiran Nakajima-san adalah ikigai-nya.

Sedikit lucu, sebenarnya. Dalam upaya mengatasi kekosongan di dalam dirinya yang tumbuh sejak suaminya memiliki kehidupan baru, sang istri justru membiarkan kekosongan itu dengan maksud mencegah tumbuhnya kekosongan(-kekosongan) lain. Dan suaminya, sementara itu, seperti tak ambil pusing akan hal tersebut.

Hiperrealitas, Kapitalisme, dan Kelemahan Manusia

Di kasus-kasus lain yang berkaitan dengan rabu dooru, persoalannya tidak serumit dan selucu itu. Seorang lelaki lain, yang juga sudah tua, memilih hidup dengan beberapa rabu dooru untuk mengisi kekosongan di dalam dirinya yang terlahir setelah istri tercintanya meninggal dunia; kekosongan itu begitu menyakitkan sampai-sampai ia harus mencoba menghadirkan seseorang, atau sesuatu, yang akan menghubungkannya dengan mendiang istrinya. Kebetulan, mendiang istrinya pun seorang penyuka boneka, meski tentu bukan boneka dalam wujud rabu dooru.

Ada juga seorang perempuan yang hidup dengan rabu dooru. Ia masih muda, barangkali di pertengahan dua puluhan, dan rabu dooru-nya ia posisikan sebagai sesuatuatau seseorangyang menerimanya apa adanya, menerima dirinya sepenuhnya. Ia mengaku tidak pernah mengalami hubungan personal yang intim dengan lawan jenisnya, dan tak merasa ia bisa mencobanya. Dan ia, tentu saja, kesepian.

Di kasus yang lain lagi, seseorang membeli rabu dooru dengan tujuan yang lebih “profan”, bahkan sangat “profan”, seperti sekadar untuk koleksi atau karena ia hidup dalam industri ituia berprofesi sebagai sales penjual rabu dooru, misalnya.

Terlepas dari tujuan membeli rabu dooru itu profan atau sakral, satu hal bisa kita sepakati: ada realitas yang dilampaui, yang membuat batas-batas antara yang nyata dengan yang fiktif menjadi sangat kabur, sekaligus mengubah sosok tiruan menjadi sesuatu yang tanpa preseden, sebab ia telah melampaui sosok aslinya, yang ditirunya.

Dan tumbuhnya industri seperti ini di Jepang menandakan bahwa pasarnya ada, bahwa orang-orang yang membutuhkan rabu dooru itu ada; bahwa mereka nyata, ada, dan sangat membutuhkan pertolongan industri tersebut.

Di sini kita mungkin bertanya-tanya kenapa masyarakat Jepang seperti tidak aktif menghambat tumbuhnya industri tersebut. Masalahnya, mereka sendiri, paling tidak sebagian besar dari mereka, menyadari betul bahwa persoalan kekosongan itu ada, benar ada, dan mereka pun mungkin merasakannya dalam wujud yang berbeda; dan ini membuat mereka sedikit-banyak bisa memahami penderitaan para pembeli rabu dooru itu.

Dan mereka pun tentu menyadari betul bahwa mengatasi kekosongan tersebut tidaklah mudah, terutama setelah mereka kehilangan kemampuan dasar untuk menjalin komunikasi dan relasi dengan manusia-manusia lain, di dunia nyata, secara konkret dan alamiah. Dan hilangnya kemampuan ini besar kemungkinan disebabkan oleh ritme hidup mereka yang begitu ketat dan monoton, dan mengekang, dan menekan.

Dan jika ditelusuri lebih jauh lagi, akar masalahnya adalah kapitalisme. Mereka berada dalam sistem kapitalis yang sangat kokoh, dan karena itulah mereka terjebak dalam kehidupan dengan ritme seperti itu.

Dan di sini kapitalisme itu dipertemukan dengan semangat untuk melampaui, sehingga lahirlah hiperrealitas yang terindustrialisasi, yang terkapitalisasi, dan di saat yang sama juga tersistem dengan baik. Akibatnya hiperrealitas ini cenderung mengeksploitasi persoalan kekosongan tadi, menempatkanya sebagai bahan baku (input), dan di saat yang sama juga produk (output).

Hiperrealitas yang terkapitalisasi itu memang menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan kekosongan tersebut, tetapi solusi ini selalu solusi yang sementara, dan pada akhirnya akan menjaga kekosongan tersebut tetap ada, bahkan menguatkannya, mendorong terlahirnya hiperrealitas lain, yang lambat-laun akan terindustrialisasi dan terkapitalisasi juga.

Seperti tidak ada akhirnya, dengan kata lain. Dan mungkin memang begitu. Kecuali, sesuatu yang nyata dilakukan untuk merusak alur tersebut.

Industri rabu dooru, kiranya, hanya salah satu wujud konkret dari hiperrealitas terkapitalisasi yang memanfaatkan kelemahan manusia, dalam hal ini kerentanan mereka untuk merasakan kekosongan yang dalam, yang kuat, yang menyakitkan.

Tetapi bahkan dalam sesuatu yang relatif suram seperti ini pun, selalu, ada semacam keindahan yang juga mendalam, yang apabila kita menghayatinya kita akan merasakan sesuatu yang lain, yang cerah, yang berpotensi menyembuhkan kita. Dan itu terlihat di kasus Nakajima-san tadi.

Barangkali itu salah satu ciri khas masyarakat Jepang. Hiperrealitas mereka, adalah hiperrealitas yang menyakitkan. Namun di saat yang sama, begitu indah.(*)

Bogor, 2 Oktober 2018

*) Kisah-kisah dalam tulisan ini disarikan dari video dokumenter produksi RT Documentary berjudul Substitutes. Bisa ditonton di YouTube di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=TgbTrusgsqA&t=7s.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *