Pukul 07.15 alarm dari jam weker di meja kecil di samping tempat tidur berbunyi. Si tokoh utama terbangun, dan mematikannya. Ada jeda beberapa detik di mana lelaki itu hanya terdiam setelah bangkit dan terduduk di pinggiran kasur. Setelah beranjak, berjalan meninggalkan kasur, hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan lampu. Ia kemudian terlihat memandangi bayangannya sendiri di cermin di kamar mandi, dan untuk beberapa detik kembali hanya terdiam. Masih tanpa mengatakan apa pun, ia mulai bercukur.
Runutan adegan yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa di sana. Tetapi perlu diketahui, yang menjadi lampu di adegan tersebut adalah sesosok manusia, sesosok lelaki yang berdiri diam dengan payung lampu menutupi kepalanya. Di adegan di mana si tokoh utama memandangi bayangannya sendiri di cermin itu sendiri, terlihat ada sepasang tangan memegangi cermin, dari belakang. Apabila kita menyertakan keganjilan ini dalam observasi kita, maka, kiranya jelas: runutan adegan yang semula biasa saja itu menjadi tak lagi runutan adegan yang biasa.
Hal tersebut adalah penggalan dari film animasi pendek garapan Santiago Bou Grasso, ilustrator-cum-animator terkemuka Argentina, El Empleo (Opusbou, 2008). Film ini menawarkan realitas tak manusiawi yang mungkin kelak kita hadapi akibat terlampau terjebaknya kita dalam kapitalisme global, di mana manusia yang satu didorong untuk melihat manusia-manusia lain di sekitarnya hanya sebagai alat, sebagai benda belaka yang bisa berguna baginya. Sebuah kritik sekaligus peringatan, dengan kata lain.
Akan tetapi tulisan ini tidak sedang akan melakukan pembacaan atas film tersebut dengan mengaitkannya pada kapitalisme global. Mengapa demikian? Sebab itu agaknya sudah jelas. Bahkan sangat sangat jelas. Akan jauh lebih menarik dan menantang untuk mencoba membacanya dengan mengaitkannya pada hal lain saja. Misalnya, autentisitas.
Setelah bercukur dan berganti pakaian (semula ia mengenakan piyama, di detik itu ia telah mengenakan setelan kantor yang umumcelana bahan, kemeja, dan dasi), si tokoh utama menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri: segelas kecil kopi dan sepotong roti. Ia duduk di salah satu kursi di ruang tamu yang dekat dengan dapur. Meja yang dihadapinya di adegan ini adalah sesosok manusia yang memosisikan dirinya sebagai meja. Dan kursi-kursi yang mengelilinginya pun begitu; termasuk kursi yang tengah ia duduki tanpa emosi.
Penting sekali di sini untuk memberi penekanan pada frasa tanpa emosi. Bukan saja si tokoh utama belum mengatakan apa pun sampai detik itu tiba, ia pun bahkan belum terlihat memiliki emosi, seakan-akan ia adalah sosok tanpa emosipadahal ia jelas sekali manusia. Bukan hanya ia yang seperti itu; manusia-manusia lain yang memosisikan diriatau diposisikan?sebagai benda pun demikian. Sampai detik itu tiba, kita telah dipertemukan dengan sejumlah manusia yang menjadi benda di antara benda-benda, dan mereka seperti begitu total sebab tak sedikit pun menunjukkan emosi. Mereka seperti berusaha untuk profesional dalam tugasnya itu.
Baik si tokoh utama maupun manusia-manusia yang menjadi benda itu, sama sekali tak terlibat dalam komunikasi dengan kata-kata atau tatapan mata. Kendati komunikasi itu ada, sifatnya efisien saja, dan terlihat sekali ada relasi kuasa di sana, di mana yang satu adalah alat dan yang satu lagi adalah penggunanya.
Ketiadaan emosi ini sesungguhnya terlihat juga dari bagaimana sosok-sosok manusia itu digambarkan secara visual. Mereka, kendati dibubuhi warna yang tak membuat mereka hanya sosok-sosok hitam-putih belaka, sama sekali tak dibubuhi tekstur; tidak ada garis atau gradasi warna baik itu di wajah maupun di pakaian mereka. Ini kontras sekali dengan hal-hal selain mereka. Dinding, misalnya, kentara sekali memiliki tekstur; ada garis-garis dan gradasi warna di sana, yang sepintas saja kita melihatnya kita pastilah akan menemukan emosi di sana, sesuatu yang tak terlihat ada di sosok-sosok manusia itu. Hal yang sama kita dapati pada pintu, foto diri, jam weker, jalan raya, tiang lampu lalu-lintas, gedung, lift, kasur, meja, kursi, dan benda-benda bukan manusia lainnya. Ini menarik, sekaligus problematis, sebab kita bisa menafsirkannya seperti ini: benda-benda itu justru terlihat dan terasa lebih hidup ketimbang manusia-manusia itu sendiri.
Dengan mengatakan bahwa benda-benda itu terlihat dan terasa lebih hidup ketimbang manusia-manusia yang ada, secara tak langsung kita mengatakan bahwa manusia-manusia tersebut telah kehilangan identitasnya sebagai manusia. Emosi, pada dasarnya, adalah apa yang ada pada manusia sebagai sesosok organisme kompleks yang terbentuk dari evolusi yang sangat lama, yang menjalani hidup dalam relasi dengan hal-hal di sekitarnya di sebuah ruang-gerak yang tak bebas nilai, yang sewaktu-waktu akan mendorongnya untuk melakukan penilaian atas apa yang tengah menimpanya, yang dengan itulah emosi itu kemudian munculini dijelaskan oleh judgement theories. Kita bisa saja memang mengatakan bahwa manusia menyalurkan emosinya ke dalam benda-benda yang ia ciptakan, yang karena itulah kemudian benda-benda itu jadi terlihat dan terasa hidup, namun keliru saya kira jika itu berarti si manusia, setelah melakukannya, tak lagi memiliki emosi sama sekali. Sebab selama manusia diperlengkapi dengan dorongan untuk membuat persepsi dan menilai sesuatu maka selama itu pula emosi itu ada. Manusia juga secara alamiah memberikan respons fisiologis atas apa-apa yang terjadi padanya atau menimpanya, yang setelah dialami dan dicoba-pahami akan memberikan andil dalam munculnya emosiini dijelaskan oleh somatic feedback theories. Maka, mengatakan bahwa emosi telah tak ada pada diri manusia, dengan demikian, hampir seperti mengatakan bahwa si manusia itu pun telah tak ada. Sesuatu yang sulit sekali diterima, tentu saja.
Bagaimana situasi manusia-tanpa-emosi ini bisa sampai terbentuk, tentu perlu dipertanyakan. Apabila kita mengalami El Empleo dari awal sampai akhir, kita akan mendapati bahwa manusia-manusia itu, selain memosisikan diri–atau diposisikan?–sebagai benda, juga memosisikan diri–atau diposisikan?–dalam sebuah relasi kuasa yang lebih lantang, di mana manusia yang satu ada untuk digunakan oleh manusia yang lain, sebagai diri yang inferior atas manusia yang lain itu. Ini terlihat terutama di adegan terakhir, di mana si tokoh utama, yang sejauh cerita bergulir terlihat begitu superior dibanding manusia-manusia lain yang ia gunakan jasanya, di titik itu justru memosisikan dirinya sebagai sosok inferior bagi manusia lain yang agaknya atasannya, menjadi keset di depan pintu ruangan si atasan. Lagi-lagi tak ada emosi di sini, dalam arti si atasan melihatnya sebagai benda belaka dan si tokoh utama seakan-akan menerimanya begitu saja, pasrah pada relasi kuasa yang mendiskreditkannya itu. Tetapi tunggu, emosi itu barangkali ada. Si tokoh utama, sebelum menelungkup memosisikan dirinya sebagai keset bagi si atasan, terlihat menghela napas. Sebuah helaan napas yang panjang dan berat. Di sini, bisa dipastikan, helaan napas tersebut adalah wujud dari ketidakbahagiaan si tokoh utama, bahwa ia sebenarnya tidak ingin berada di dalam situasi manusia-tanpa-emosi, juga relasi kuasa yang mendiskreditkannya.
Dalam eksistensialisme, sosok-sosok manusia seperti itu dilihat sebagai sosok-sosok yang tak autentik. Eksistensialisme pada dasarnya meyakini bahwa seorang manusia terlahir dengan kehendak bebas, sebagai sosok yang sesungguhnya bebas. Dengan kata lain ia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Namun tentu saja, seiring waktu berjalan, si manusia ini menyadari bahwa kebebasannya itu berbenturan dengan faktisitas (facticity), yakni sekian banyak hal yang telah ada lebih dulu sebelum ia terlahir ke dunia dan cenderung superior atasnya dan sulit sekali untuk bisa diubah.. Antara kehendak bebas dan faktisitas, dengan demikian, terjadi tarik-menarik terus-menerus, bisa jadi tanpa henti. Dan di sinilah si manusia itu diuji apakah ia akan menuju dirinya yang autentik atau sebaliknya: menyerah pada faktisitas demi hidup yang relatif lebih mudah. Manusia-manusia dalam El Empleo tadi, tentu, termasuk ke yang disebut terakhir.
Dalam upaya menuju diri yang autentik, salah satu hal krusial yang perlu dilakukan seseorang adalah memahami apa yang sesungguhnya ia inginkan, yang berarti ia harus mengenali lebih dulu siapa sebenarnya dirinya dan hidup seperti apa yang kira-kira cocok untuk dirinya-yang-sebenarnya ini. Mencoba jujur pada diri sendiri, dengan kata lain. Dan kita tidak melihat hal ini pada manusia-manusia di El Empleo tadi. Mereka, dalam arti tertentu, berusaha meyakinkan diri bahwa situasi manusia-tanpa-emosi dan relasi kuasa yang mendiskreditkan mereka itu memanglah apa yang selayaknya mereka alami, bahwa keduanya adalah sesuatu yang alamiah bagi dan karena itu tak perlu mereka bantah atau lawan; mereka menolak dorongan untuk memberontak yang justru berasal dari kehendak bebas yang mestinya ada di dalam diri mereka. Dalam kacamata eksistensialisme, mereka ini terjebak pada apa yang disebut iman yang buruk (bad faith). Dengan berpegang teguh pada iman yang buruk ini, seseorang akan semakin menjauh dari menuju diri yang autentik.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa mereka, manusia-manusia di El Empleo itu, terjebak pada iman yang buruk tersebut, dan seperti menafikan kehendak bebas yang mereka miliki. Untuk menjawab ini, kita bisa mencoba mengaitkannya dengan teori the selfish gene, sebuah teori yang diperkenalkan oleh biolog Richard Dawkins dalam bukunya yang kontroversial, The Selfish Gene (Oxford University Press, 2006; 30th Anniversary Edition).
Menurut teori the selfish gene, di dalam diri kita ada gen-gen yang sifatnya egois dan manipulatif, di mana yang diinginkannya hanya satu, yakni bahwa mereka bisa terus hidup kendatipun kita, yang di matanya adalah inangnya, kelak mati, dan supaya itu terwujud mereka memanipulasi kita dengan sangat subtil untuk melakukan apa pun itu yang akan memudahkan mereka untuk terus hidup. Mencoba meleburkan diri ke dalam sistem, menjadi bagian dari sistem dan turut andil dalam melanggengkannya, bisa kita lihat sebagai wujud dari manipulasi gen tersebut, sebab jelas sekali dengan melakukannya kita akan lebih mudah dalam menjalani hidup dan itu memperbesar peluang kita untuk hidup lama dan pada saat yang sama melanggengkan eksistensi gen-gen di dalam tubuh kita itu.
Tentu saja kita tidak menyadarinya. Gen-gen di dalam tubuh kita itu melakukannya dengan sangat halus dan mereka dibekali pengalaman ratusan bahkan ribuan juta tahun; mereka telah ada bahkan ketika kita masih sesosok organisme sederhana. Pilihan seseorang untuk menuju diri yang tak autentik, demi kemudahan dalam menjalani hidup, dengan demikian adalah sebentuk pembiaran atas manipulasi gen-gen di dalam dirinya. Ini juga menandakan bahwa seseorang tersebut menempatkan gen-gen di dalam dirinya sebagai sosok yang superior dan dominan atasnya. Dan hal ini, jika kita bertolak pada teori the selfish gene, adalah sebuah fenomena yang sifatnya natural.
Akan tetapi jika kita bertolak pada eksistensialisme, kehendak bebas yang ada pada manusia tadi itulah justru yang natural. Kalau begitu, keduanya natural. Jadi kita bisa mengatakan bahwa di dalam diri kita selain ada gen-gen yang sifatnya egois dan manipulatif dan cenderung mendorong kita menjadi diri yang tak autentik, ada juga kehendak bebas yang justru mendorong kita ke arah yang sebaliknya. Dan kedua hal ini bertarung, saling tarik-menarik tiada henti, dan kita sayangnya tak bisa menyaksikan pertarungan tersebut sehingga kita seakan-akan tak bisa ikut campur di dalamnya.
Eksistensialisme meyakini bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, segala hal esensial di realitas ini ada karena kita ada; kita lebih dulu ada barulah hal-hal esensial tersebut ada. Dengan begini terlihat betapa nyata dan kuatnya kehendak bebas yang ada di dalam diri kita itu. Dan bukti konkretnya ada. Kita, misalnya, sewaktu-waktu bisa sangat impulsif, melakukan sesuatu yang tak menguntungkan gen-gen di dalam tubuh kita dan membuat kita berjarak dari sistem, seperti melontarkan caci-maki kepada seorang pejabat di media sosial atau mengacungkan jari tengah kepada seseorang yang kita benci.
Menariknya, hal ini justru relatif sejalan dengan teori the selfish gene. Dawkins mengatakan bahwa cara kerja gen-gen dalam memanipulasi kita adalah seperti sebuah program yang ditanamkan ke dalam game catur di komputer, di mana mereka berusaha mengendalikan kita berdasarkan algoritma yang ditetapkan di awal dan mereka tidak bisa menginterupsi ketika algoritma tengah berlangsung, ketika kita tengah menjalani hidup kita. Ada celah, dengan kata lain. Dan di celah inilah kehendak bebas itu bisa diberdayakan. Kita barangkali memang berada di dalam kendali gen-gen di dalam tubuh kita yang egois dan manipulatif itu sejak kita terlahir ke dunia, atau bahkan sejak kita terbentuk di dalam rahim ibu kita, tetapi saat kita tengah menjalani hidup kita ada sebuah pergeseran signifikan di mana kita juga akhirnya jadi punya kendali atas diri kita, bahwa kita memiliki kehendak bebas sehingga kita bisa memilih untuk melakukan sesuatu yang bahkan bertentangan dengan apa yang dikehendaki gen-gen di dalam tubuh kita itu. Yang kita perlukan, pertama-tama, adalah menyadari hal ini.
Kembali ke manusia-manusia di El Empleo tadi, sekali lagi kita bisa mengatakan bahwa mereka cenderung menuju diri yang tak autentik, yang berarti kesadaran akan celah tersebut, juga kesadaran akan kuat dan nyatanya kehendak bebas itu, belum cukup kuat di dalam diri mereka. Akibatnya kita lihat sendiri: mereka bukan saja berkompromi dengan situasi manusia-tanpa-emosi dan relasi kuasa yang mendiskreditkan mereka, mereka pun kehilangan dorongan untuk berkata-kata; kata-kata seperti telah tercerabut sejak lama dari diri mereka dari lidah mereka, seolah-olah untuk semakin meneguhkan profesionalitas mereka sebagai alat dan benda tadi. Menyedihkan sekali, tentu, jika itu kelak benar-benar terjadi kepada kita.
Dan supaya sesuatu menyedihkan ini tidak terjadi, satu hal yang mulai dari sekarang bisa kita upayakan adalah membangkitkan kesadaran tadi; kesadaran akan adanya kehendak bebas yang nyata dan kuat di dalam diri kita, juga kesadaran akan tidak sempurnanya cara kerja gen-gen dalam memanipulasi kita, dalam mengendalikan kita untuk kepentingan mereka. Kita perlu mencoba mendengarkan diri kita sendiri, memahami apa yang kita inginkan dan apa yang tak kita inginkan, lantas mengambil tindakan sebagai awal dari menuju diri yang autentik itu. Tentunya, dalam melakukannya, kita pun menyertakan faktisitas yang membatasi kita tadi ke dalam perhitungan kita.
Di El Empleo, dorongan ke arah sana itu sebenarnya ada. Sebelum film benar-benar berakhir, dalam latar hitam dengan bentuk yang tanpa tekstur dan seakan-akan transparan, sesosok manusia yang di awal film berperan sebagai lampu melemparkan keras-keras ke lantai payung lampu yang semula terpasang di kepalanya, kemudian berjalan ke arah yang berlawanan, meninggalkan payung lampu tersebut yang telah penyok; dan ia pun setelahnya meninggalkan layar, keluar dari cerita. Ini tak pelak lagi sebuah simbol bahwa situasi manusia-tanpa-emosi itu bisa dilawan, begitu juga untuk relasi kuasa yang mendiskreditkan mereka, dan si tokoh utama sudah mulai melawannya. Sebuah langkah awal yang baik untuk menuju diri yang autentik.(*)
Bogor, 2017-2019