Yumiko dan Kegelapan di Dalam Dirinya

Ketika Yumiko memutuskan untuk membunuh ibu mertuanya, malam sudah sangat larut. Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar lekat-lekat. Ia bisa mendengar dengung AC yang tipis berseteru dengan degup jantungnya sendiri, seakan-akan keduanya tengah bertarung dalam sebuah pertandingan yang tak akan dimenangkan oleh siapa pun. Yumiko malam itu hanya mengenakan kaus oblong tipis dan celana dalam saja, tetapi ia masih kegerahan. Bulan kedua di musim panas. Suhu udara saat itu memang sedang tinggi-tingginya.

Menyadari bahwa malam itu ia tak akan bisa tidur, Yumiko bangkit terduduk dan mulai menyisir seisi kamar, mengamati benda-benda yang ada di sana: lemari, meja rias, cermin besar, foto pernikahannya sembilan tahun yang lalu; pintu, saklar lampu utama, jendela, gorden, lampu tidur yang menyala, nakas. Selama bertahun-tahun ia telah menghuni kamar ini seorang diri; tidur di kasurnya ini seorang diri, membersihkan dan merapikannya setiap pagi seorang diri, memandangi dirinya di cermin seorang diri. Seandainya di alam sana mendiang suaminya menyaksikan apa-apa yang dilakukannya ini lelaki itu mungkin akan bersimpati, tetapi ini hanya pengandaian yang konyol dan sia-sia. Yumiko lebih suka berpikir suaminya itu telah bereinkarnasi dan kini menjalani kehidupan sebagai sesosok hewanmungkin kerbau, atau babi gemuk yang siap disembelih, atau nyamuk yang akan segera mati di tangan seorang perempuan dewasa sepertinya. Yumiko meyakini bahwa seorang lelaki yang mati bunuh diri dan meninggalkan beban hidup yang teramat berat untuk ditanggung istrinya pantas merasakan kehidupan yang mengenaskan seperti itu.

Meninggalkan kamarnya, Yumiko menuju dapur. Pintu kamar ia biarkan separuh terbuka dan kini cahaya kuning-redup dari kamar itu seperti menjalar keluar mengikutinya. Di dapur, yang pencahayaannya jauh lebih terang, ia membuka kulkas dan mengambil sekaleng bir, lalu mengambil dua kaleng lagi dan menaruhnya di meja makan. Sebenarnya ia tahu minum-minum di malam selarut ini bukan ide bagus, terlebih lagi jika besoknya ia harus bangun pagi-pagi seperti biasanyamembersihkan rumah, mencuci piring, mengurus ibu mertuanya yang sakit-sakitan itu, dan hal-hal membosankan lainnya. Tetapi kali itu ia tak peduli. Toh, ia sudah memutuskan bahwa hari-esoknya akan sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Sambil sesekali menenggak bir yang terasa pahit itu, Yumiko mencoba membayangkan kehidupan yang akan dijalaninya setelah ia membunuh ibu mertuanya. Kematian perempuan tua itu tak akan terdeteksi oleh siapa pun sebab hanya mereka berdua yang menghuni rumah itu, dan Yumiko punya beberapa alternatif untuk mengenyahkan jasad si perempuan tua itu seperti menguburnya di halaman belakang rumah atau memutilasinya lalu membuangnya secara bertahap lewat kantung-kantung plastik hitam. Dalam bayangannya kedua hal ini tidak sulit untuk dilakukan sebab malam hari di kawasan tempat tinggalnya ini selalu sepi dan selama bertahun-tahun sejak ibu mertuanya itu jatuh sakit nyaris tak ada satu tetangga pun yang mencoba datang untuk bertamu. Karena itulah fokusnya bukan pada bagaimana membunuh ibu mertuanya itu tetapi pada hari-hari seperti apa yang akan dihadapinya setelahnya. Misalkan ia bertahan di rumah ini, ia mungkin harus mulai menekuni sebuah hobi yang menantang untuk membuatnya sibuk dan mencegahnya mati bosan.


Ibu mertuanya itu terkena stroke tujuh tahun yang lalu. Itu adalah awal-awal tahun kedua rumah tangganya, dan ia sangat kecewa dengan permintaanlebih tepatnya desakansuaminya agar ia berhenti bekerja dan fokus merawat ibu mertuanya itu. Umurnya ketika itu baru dua puluh tiga tahun dan ia sudah mulai merasa nyaman dan menemukan posisi yang tepat di sebuah penerbitan di pusat kota tempat ia bekerja. Di sisi lain, ia tak memungkiri bahwa biaya yang harus digelontorkan untuk mempekerjakan seorang perawat atau merawat ibunya di rumah sakit sangatlah mahal, dan mereka bukan pasangan suami-istri kaya raya atau yang semacamnya. Dengan berat hati, Yumiko berhenti bekerja. Sejak saat itu ia menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah.

Ketika itu kondisi ibu mertuanya belum seburuk bertahun-tahun setelahnya dan Yumiko masih bisa mencoba-coba mengisi waktu senggang dengan menyunting naskah-naskah nonfiksi yang secara khusus disiapkan seorang mantan rekan kerjanya di penerbitan tadi. Yumiko tahu ia tidak puas dengan kehidupan yang dijalaninya saat itu, tapi ia berusaha berdamai dan melihat apa-apa yang dilakukannya terhadap ibu mertuanya ini adalah sebuah bukti cinta kepada suaminya. Sayangnya, selang satu tahun kemudian, si lelaki yang dicintainya ini mati bunuh diri, menjatuhkan diri dari atap gedung kantornya. Kabar kematian suaminya ini menerpanya di sebuah siang yang cerah ketika ia baru saja selesai menjemur pakaian. Yumiko merasa lemas dan disergap kekosongan yang kuat. Selama berbelas-belas menit setelah rekan kerja suaminya itu mengakhiri percakapan, ia masih berdiri mematung sambil menempelkan salah satu bibir telepon ke telinganya.

Suaminya mati, ibu mertuanya sakit-sakitan, dan Yumiko tidak bekerja. Ini saja sudah kombinasi yang buruk. Memang suaminya meninggalkan tabungan yang jumlahnya cukup besar dan Yumiko sendiri masih bisa memperoleh penghasilan dari kerja-kerja penyuntingannya itu, tetapi bukan itu persoalannya. Ia sendirian, di sebuah rumah yang sejatinya bukan miliknya, dan ia harus mengalokasikan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk mengurus seorang perempuan yang tak pernah benar-benar ia sukai, dan sejak kematian suaminya itu ia telah kehilangan sebagian besar dorongan untuk melakukannya. Lambat-laun ia pun mulai kesal kepada mendiang suaminya. Ia kesal karena lelaki itu begitu saja mengakhiri hidupnya tanpa pernah memberinya tanda-tanda atau semacamnya. Ia kesal karena mendiang suaminya itu tak pernah mencoba memberitahunya bahwa sesungguhnya ada sesuatu hal yang benar-benar membuatnya merasa tertekan dan menderita. Dan semakin memikirkan hal ini, semakin ia menyadari bahwa hari-hari yang akan dijalaninya ke depan akan sangat melelahkan. Dan itu terbukti dengan terus memburuknya kondisi ibu mertuanya itu, di mana pada satu titik perempuan ini secara harfiah benar-benar hanya bisa berbaring dan menggerak-gerakkan kepala saja. Ketika ia mencoba bicara, di mana suaranya begitu pelan dan temponya begitu lambat, Yumiko seperti merasakan perempuan itu tengah menguarkan kematiannya sendiri.

Aku telah membaktikan diriku selama bertahun-tahun. Aku telah membiarkan diriku terjebak di dalam sebuah kehidupan yang tak kuinginkan selama bertahun-tahun. Kini saatnya aku membebaskan diri. Kini saatnya aku hanya memikirkan diriku sendiri, ujar Yumiko, sesaat sebelum ia menenggak habis kaleng bir ketiganya.


Ketika Yumiko terjaga besok harinya sinar matahari sudah menyusup masuk lewat celah-celah gorden. Di dapur, ia sendirian. Kulkas berdengung dan entah kenapa ia merasa dengungannya ini tidak biasanyaseperti agak kasar, dan mengusiknya. Ia bangkit dan berjalan agak sempoyongan mengambil gelas, mengisinya dengan air dari keran di bak cuci piring, lantas meminumnya sampai habis. Untuk beberapa saat ia bertahan dalam posisinya itu: berdiri menghadap bak cuci piring dan memandangi keran tapi tak benar-benar memandanginya. Di satu titik, ia berkata seperti kepada orang lain tetapi sebenarnya kepada dirinya sendiri: Baiklah. Ayo kita lakukan.

Dan inilah yang dilakukan Yumiko: memasuki kamar ibu mertuanya, menghampiri perempuan itu yang terbaring tak berdaya seperti biasanya, membaui udara di ruangan itu, mengangkat bantal yang telah ia ambil dari kamarnya, menahan sejenak bantal itu di udara, lantas membekapkannya sekuat tenaga ke wajah ibu mertuanya itu, menahannya seperti itu beberapa menit lamanya sampai Yumiko yakin betul bahwa perempuan itu sudah tak bernyawa lagi. Selesai sudah, ujarnya, tapi tak sedikit pun terasa ada kelegaan di situ.

Yumiko masih membiarkan bantal itu teronggok di muka si perempuan tua selama beberapa saat. Ketika ia akhirnya mengangkatnya, ia mendapati mulut perempuan itu menganga dan sepasang matanya membelalak. Di luar dugaan, Yumiko ketakutan.

Yumiko tidak tahu dari mana rasa takut itu berasal. Ia jelas-jelas telah melakukan sebuah tindakan kriminal dan ia pantas diganjar hukuman penjara bertahun-tahun, dan siapa pun tentu sependapat dengannya bahwa hari-hari di dalam penjara bukanlah hari-hari yang menyenangkan–apalagi membebaskan. Tetapi bukankah sebelumnya ia telah menepis bayangan ini, di mana ia bermaksud mengenyahkan jasad ibu mertuanya itu sebelum siapa pun mengendus tindakan kriminalnya ini? Jadi mungkinkah yang ia takutkan adalah saat-saat di mana ia akhirnya menguburkan jasad si perempuan di halaman belakang rumah, atau memotong-motong jasadnya itu dan membagi-baginya ke beberapa kantung plastik hitam? Entahlah. Yumiko tak bisa memastikannya. Bisa jadi yang ia takutkan itu justru adalah hari-hari yang akan ia jalani setelah ini, di mana ia tak akan bisa menjalaninya dengan tenang dan merasa bebas seperti yang semula dibayang-bayangkannya itu.

Terusik oleh rasa takutnya ini, Yumiko meninggalkan kamar ibu mertuanya itu begitu saja. Pintu ia biarkan terbuka lebar dan ketika ia menoleh ia bisa melihat wajah perempuan itu dengan posisinya tadimulut menganga dan sepasang mata membelalak. Yumiko kembali ke dapur, menenggak beberapa gelas air dan mengulangi apa yang sempat dilakukannya tadi–berdiri menghadap bak cuci piring dan memandangi keran tapi tak benar-benar memandanginya. Kali ini ia mendengar bebunyian dari luar: kendaraan-kendaraan bermotor, langkah-langkah kaki, percakapan-percakapan, dan yang lainnya. Yumiko merasa aneh meski ini adalah hal-hal yang biasa ia hadapi setiap pagi. Dan ia teringat dengung kulkas yang tadi terdengar tak seperti biasanya itu, dan kini berusaha menyimaknya lagi sambil lekat-lekat memandangi si kulkas. Warna kulkas itu merah gelap. Hampir seperti warna darah yang mengental. Dulu, Yumiko dan mendiang suaminya membelinya bersama-sama, di sebuah depaato di pusat kota. Kini warna tersebut mengingatkannya pada pembunuhan yang baru saja dilakukannya dan Yumiko kembali merasa terusik. Ia menenggak beberapa gelas air lagi.


Malam harinya, Yumiko kembali sendirian di dapur. Lebih dari dua belas jam telah berlalu dan ia masih belum tahu apa yang akan benar-benar dilakukannya dengan jasad ibu mertuanya itu. Selama lebih dari dua belas jam itu sendiri ia belum lagi menyentuh jasad tersebut dan bahkan pintu kamar ibu mertuanya itu masih dibiarkannya terbuka lebar. Apa yang dilakukannya sendiri, untuk mengisi waktu, adalah membenamkan dirinya ke dalam pekerjaan-pekerjaannya: menyunting naskah-naskah nonfiksi yang telah dikirim jauh-jauh hari oleh seorang mantan rekan kerjanya itu.

Tidak seperti biasanya, seharian itu ia bisa menuntaskan banyak halaman dan ia merasa bisa menuntaskan jauh lebih banyak lagi. Tapi ia berhenti juga, dengan sendirinya berhenti, ketika malam akhirnya jatuh; ketika cahaya tak lagi menyusup masuk lewat celah-celah gorden dan ia terpaksa menyalakan lampu-lampu. Ia sendirian, dan ia memikirkan kesendiriannya ini. Baru disadarinya bahwa di sepanjang hidupnya rasanya ia tak pernah benar-benar sendirian seperti ini; tidak bahkan ketika kabar kematian ayah dan ibunya dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas tiba padanya sepuluh tahunan yang lalu. Ketika itu ia memang sangat sedih, dan terpukul, tetapi ada seseorang yang menemaninya, yang mencoba sekuat tenaga menguatkannyasi lelaki yang kelak menjadi suaminya itu. Kini ia benar-benar sendirian, dan malam yang jatuh bersama keheningan yang muram seperti menguatkan kesendiriannya ini. Ia sempat berpikir untuk minum-minum lagi, tapi tak jadi. Akhirnya yang dilakukannya hanyalah duduk di salah satu kursi meja makan dan melamun.

Apa saja yang ia lamunkan? Banyak hal, mulai dari masa kecilnya di sebuah pedesaan di Shizuoka hingga masa-masa sibuknya di tahun-tahun awalnya bekerja di sebuah penerbitan di Tokyo. Waktu ternyata berjalan begitu cepat dan setelah menyadarinya ia mendapati bahwa kehidupan yang dijalaninya selama ini seperti ilusi, seperti sesuatu yang tak pernah benar-benar terjadi. Ia menikah, berumah tangga, berhenti bekerja, mengurus ibu mertuanya; itu semua benar-benar dilakukannya tetapi kini ia merasa hal-hal tersebut tak lagi penting, dan karenanya tak masalah kalaupun ternyata tak benar-benar dilakukannya. Yang ada saat ini di hadapannya, yang tengah lekat-lekat menatap matanya, adalah kesendiriannya itu. Kesendirian yang dengan cepat menjadi pekat.

Ia tahu ia tak mungkin hanya diam saja seperti ini sementara waktu berlalu, sementara malam pada akhirnya akan digantikan pagi dan jasad ibu mertuanya itu akan mulai membusuk. Tetapi ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Benar-benar ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dan untuk sementara ia putuskan untuk menyerah saja, dan ia benamkan wajahnya ke kedua lengannya yang ia taruh dalam posisi tersimpuh di meja makan. Kembali, ia dengar dengung kulkas yang tak seperti biasanya itu. Dengungan-dengungan yang agak kasar, dan mengusiknya.(*)

Cianjur, 22 November 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *