Seks dan Kapitalisme

Tidak puas dengan aktivitas seksual yang dijalaninya dengan seorang lelaki yang adalah pasangannya, seorang perempuan di Jepang memutuskan untuk menyewa seorang lelaki lain, dan ia benar-benar terpuaskan oleh si lelaki lain ini. Jangan dulu menyimpulkan mereka berhubungan seks. Tidak, mereka tidak berhubungan seks jika yang dimaksud dengan berhubungan seks di sini adalah bertemunya penis dan vagina. Si perempuan dan si lelaki yang ia sewa itu memang melakukan kontak seksual, secara intens, tetapi paling jauh (baca: yang diperbolehkan oleh perusahaan di mana si lelaki bekerja) hanyalah sampai oral seks saja. Kontak seksual mereka difokuskan pada foreplay, di mana posisi si perempuan adalah pusat, adalah pelanggan yang harus dipuaskan oleh si lelaki yang disewanya itu.

Meski awalnya hanya coba-coba, si perempuan ini ternyata menjadi pelanggan tetap, terus menggunakan jasa si lelaki secara berkala: sebulan sekali, lalu dua minggu sekali, lalu seminggu sekali. Ia benar-benar ketagihan sebab menurutnya cara si lelaki memperlakukannya selama mereka melakukan kontak seksual sungguh membuatnya nyaman; si lelaki mampu membuatnya merasakan kenikmatan dan kepuasan baik itu yang sifatnya biologis maupun psikologis. Ia tentu merahasiakan hal ini dari pasangannya. Apa yang dilakukannya ini, menurutnya, adalah solusi dari ketidakberesan yang ada dalam aktivitas seksualnya dengan pasangannya itu.

Seks dan Hiperrealitas: Solusi yang Sifatnya Temporal

Apa yang barusan dihadirkan bukan sekadar ilustrasi, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadiselengkapnya silakan tonton video berjudul “What’s It Like Being Male Prostitute in Japan” di kanal YouTube-nya Asian Boss. Perusahaan penyedia jasanya pun ada, dan legaldi Jepang prostitusi ilegal tetapi jasa yang ditawarkan perusahaan ini tidak sampai ke bertemunya penis dan vagina sehingga tidak bisa dikategorikan prostitusi. Dan jangan salah, lelaki-lelaki yang dipekerjakan di perusahaan ini telah melewati serangkaian tes yang bukan main ketatnya, mulai dari tes tulis hingga tes memijat. Tentu, mereka pun menerima sejumlah pelatihan yang dijalankan secara intens dan profesional. Konon orang-orang yang melamar untuk bekerja di perusahaan ini semakin ke sini semakin banyak saja, mencapai ratusan orang per bulannya.

Bisa dikatakan bahwa si lelaki yang disewa si perempuan tadi adalah seorang profesional. Ia, misalnya, tahu betul bagaimana membuat para pelanggannya yang kebanyakan perempuan itu tertarik padanya dan menginginkannya, dan akhirnya menggunakan jasanya lagi di lain waktu; di saat yang sama ia pun tahu betul servis-servis apa saja yang diinginkan atau dibutuhkan oleh para pelanggannya itu sehingga mereka tidak merasa dimanfaatkan atau membuang-buang uang untuk sesuatu yang sia-sia. Katakanlah ia dan pelanggannya itu berbaring menyamping di kasur, berhadapan, dan ia membiarkan si perempuan menaruh kepalanya di lengannya, lalu pada satu titik di mana mereka tengah mengobrol ia mendekatkan wajahnya ke wajah si perempuan, seperti akan segera menciumnya. Si perempuan tentu berpikir itulah yang akan terjadi, tetapi si lelaki profesional ini malah menjauhkan diri dan tersenyum, membuat si perempuan pelanggannya itu sedikit kesal sekaligus gemas.

Yang paling menarik dari jasa unik ini tentu saja adalah totalitas dalam memosisikan si perempuan (baca: pelanggan) sebagai pusat. Ini memang bagian dari kultur masyarakat Jepang, bahwa mereka selalu berusaha memosisikan pelanggan sebagai rajapada banyak kasus mereka bahkan merendahkan diri mereka seperti dengan menggunakan tata bahasa yang sangat halus dan meninggikan lawan bicara. Akibatnya, si perempuan merasa menemukan ruang yang selama ini ia cari-cari; sebuah ruang di mana ia bisa mendapatkan sesuatu yang selama ini diidam-idamkannya–kenikmatan biologis dan psikologis itu. Tak heran si perempuan berpikir adanya jasa unik ini adalah solusi bagi masalah serius yang tengah dihadapinya dalam aktivitas seksualnya dengan pasangannya.

Tetapi solusi ini sebenarnya hanyalah solusi temporal. Si perempuan terjebak di dalam hiperrealitas; ia merasa ruang ketika ia dan si lelaki yang disewanya itu melakukan aktivitas seksual adalah ruang nyata dan saat berada di ruang ini ia bisa melupakan masalah yang dihadapinya itu, padahal si lelaki sejatinya hanya sedang berperan dan hubungan mereka tak lebih dari sekadar yang-menyewa dan yang-disewa. Ketika si perempuan keluar dari ruang ilusif ini dan kembali ke ruang nyata yang sesungguhnya, seperti ketika ia berinteraksitermasuk melakukan aktivitas seksualdengan pasangannya, ia kembali berhadapan dengan masalahnya itu; ia dipaksa untuk menyadari bahwa masalah yang dihadapinya itu sesungguhnya belum teratasi sama sekali. Dan bukannya mulai benar-benar mengatasi hal tersebut, ia justru malah kembali menggunakan jasa si lelaki tadi, di mana ia menjadi semakin ketagihan, di mana ia menjadi semakin tak bisa memisahkan mana ruang yang benar-benar nyata dan mana ruang yang hanya seolah-olah nyata. Lambat-laun, bisa jadi ia bahkan tak akan lagi peduli mana ruang yang benar-benar nyata dan mana ruang yang hanya seolah-olah nyata.

Seks dan Kapitalisme: Solusi yang Ilusif, yang Membutakan

Semestinya, jika si perempuan memang ingin masalah serius dalam aktivitas seksualnya dengan pasangannya itu teratasi, yang ia lakukan adalah membicarakannya dengan pasangannya itu, memberitahu si lelaki bahwa ia selama ini sebenarnya tidak puas dengan cara si lelaki memperlakukannya saat mereka berhubungan seks, bahwa ia merasa si lelaki hanya peduli pada kepuasan biologisnya sendiri saja dan mengabaikan kepuasannya. Tentu ada risiko yang harus diambil si perempuan dengan melakukan hal ini, seperti marahnya pasangannya itu dan akhirnya retaknya hubungan mereka, tetapi risiko ini harus diambil, bagaimanapun harus diambil. Itu jika si perempuan memang ingin masalah serius yang tengah dihadapinya itu benar-benar teratasi, bukan hanya seolah-olah teratasi.

Dan perusahaan jasa tadi, jika mereka benar-benar peduli pada masalah si perempuan, semestinya mengarahkannya untuk melakukan itu, menyadarkan si perempuan bahwa jasa-jasa yang mereka tawarkan itu memang akan membuatnya puas tetapi kepuasan ini sifatnya senantiasa temporal dan ilusif. Itulah yang seharusnya mereka lakukan, cepat atau lambat. Tetapi sulit tentunya membayangkan mereka melakukannya. Sebagai sebuah perusahaan yang didirikan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, jauh lebih masuk akal bagi mereka untuk membuat si perempuan dan pelanggan-pelanggan mereka yang lain itu ketagihan, terus memakai jasa mereka hingga batas waktu yang tak ditentukan. Mereka tidak akan mau mengakui bahwa solusi yang mereka tawarkan sejatinya hanyalah solusi yang temporal dan ilusif. Bagi mereka, melakukannya bukan hanya berisiko, tetapi juga sebuah kebodohan yang hakiki.

Dan akhirnya si perempuan pun berada di dalam sebuah tarik-menarik yang tak selesai-selesai. Di satu sisi ia ingin masalahnya teratasi; di sisi lain ia tak bisa memungkiri betapa terpuaskannya ia saat membiarkan dirinya terjebak di ruang yang artifisial dan ilusif itu. Memang, sebagai tokoh utama di kehidupan yang dijalaninya, ia mestilah bisa memilih; dan ketika ia memilih itu ia mestilah melakukannya secara sadar, secara benar-benar sadar. Tetapi sebagaimana kita ketahui, tokoh utama dalam sebuah cerita, seindependen apa pun ia, selalu berada di sebuah realitas, di sebuah ruang-waktu yang membatasinya, yang pada titik-titik tertentu tak memungkinkannya untuk bisa memilih sesuatu yang semestinya ia pilih, yang juga tak memungkinkannya untuk menyadari bahwa ia di titik-titik itu sebenarnya sedang tidak bisa memilih apa yang seharusnya ia pilih.

Ilusif. Lagi-lagi ilusif. Dan seperti itulah memang solusi-solusi yang ditawarkan kapitalisme, baik untuk masalah aktivitas seksual atau apa pun itu. Dan kita, seringkali, begitu terlambat menyadarinya, seolah-olah kita ini begitu bodoh sebodoh-bodohnya.(*)

Bogor, 18-19 Agustus 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *