Mendapati dua anak yang dibencinya mengamati mobilnya, seorang lelaki dewasa langsung tahu bahwa kedua anak itu tertarik pada salah satu atau bahkan ketiga hal yang ia simpan di dalam mobilnya itu: kue, roti, mentega kacang. Ini dilihatnya sebagai sebuah kesempatan. Ia menghampiri kedua anak itu dan bertanya untuk memastikan bahwa apa yang tengah mereka pikirkan memang sesuai dengan dugaannya. Lalu ia membuka pintu mobilnya, dan mengambil lebih dulu kue–dua anak tadi lebih menginginkan ini. Sekilas pembaca seperti digiring untuk membayangkan si lelaki dewasa ini memberikan kue-kue tersebut kepada kedua anak itu dengan cuma-cuma. Akan tetapi, yang terjadi bukan itu.
Si lelaki dewasa meludahi dulu tiap-tiap kue yang diambilnya itu lantas menunjukkannya kepada mereka berdua, lalu menjelaskan bahwa memakan kue-kue itu bukan ide bagus sebab itu bisa membuat mereka gemuk dan orang tua mereka tidak akan senang dengan hal ini, dan ia pun membuang kue-kue itu ke tempat sampah. Tentu saja ia meludahi kue-kue itu di hadapan mereka. Setelah itu, ia mengambil mentega kacang dan berpura-pura menjatuhkannya sehingga botol kemasan itu pun pecah; dengan begitu ia jadi punya alasan untuk membuang juga mentega kacang ini ke tempat sampah.
Lalu apa yang terjadi dengan si roti? Jawabannya jelas: si lelaki dewasa kembali mencari-cari alasan lantas membuang roti-roti itu ke tempat sampah.
Tingkah si tokoh barusan disajikan Budi Darma dalam cerita berjudul “Keluarga M”, salah satu cerita dalam buku kumpulan ceritanya yang fenomenal, Orang-orang Bloomington (Noura Books, 2016). Si tokoh seorang lelaki dewasa, tetapi ia bertingkah layaknya anak-anak. Ia tak berusaha menekan kebenciannya terhadap kedua anak itu dan justru membiarkan kebencian itu tumbuh; tumbuh dan terus tumbuh sehingga ketika ia dihadapkan pada kesempatan seperti tadi ia dengan lancarnya, seolah-olah itu alamiah baginya, memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat mereka kesalbahkan menderita. Diri kanak-kanak dan sisi gelap. Itulah dua hal yang tercermin dalam tingkah si lelaki dewasa. Dihadapkan pada sesuatu seperti ini, pembaca sangat mungkin jadi curiga bahwa potensi untuk menjadi seperti itu sungguh nyata ada pada tiap-tiap orang dewasa.
Sebelum sampai pada penggambaran tersebut, Budi Darma menghadirkan terlebih dulu peristiwa-peristiwa sebagai motif, sebagai latar kuat yang menjadikan penggambaran tadi terasa natural. Suatu ketika, misalnya, si lelaki dewasa mendapati mobilnya baru saja digores oleh benda tumpul, dan setelah melakukan sedikit pengejaran ia melihat dengan mata kepalanya sendiri si anak yang lebih kecil tengah memegang paku, dan ia langsung menyimpulkan si anak itulah yang baru saja, dengan ringan dan tanpa dosa, menggores mobilnya. Si anak menyangkal tuduhan itu, begitu juga si anak satu lagi yang lebih besar—kakaknya. Si lelaki dewasa begitu kesal. Ia mencoba mendatangi kamar di mana dua anak ini tinggal dan mengeluhkan kejadian tersebut kepada orang tua mereka.
Malang betul si lelaki dewasa, pasangan suami-istri penghuni kamar itu membela kedua anak mereka habis-habisan. Mereka meyakini bahwa si kakak tidak mungkin berbohong sebab mereka selalu mengajarinya untuk berkata jujur. Mereka juga meyakini apabila si kakak atau si adik melakukan sesuatu yang tidak baik kepada orang lain pastilah dikarenakan mereka memperoleh terlebih dahulu sesuatu tidak baik dari orang tersebut. Si lelaki dewasa, lagi-lagi, begitu kesal.
Peristiwa lain yang ikut menjadi motif adalah saat si lelaki dewasa mendapati dua anak tadi bertingkah di salah satu anak tangga di lantai dua. Sore itu lift gedung macet dan si lelaki dewasa terpaksa menggunakan tangga, dan ia mulai mencium bau tak sedap saat menuruni anak-anak tangga di lantai tiga. Rupa-rupanya bau tak sedap itu adalah bau tinja, dan ia berasal dari si anak yang lebih kecil—si adik. Si lelaki dewasa melihat di salah satu anak tangga si adik sedang berjongkok dengan raut muka menahan sakit, sementara si kakak tengah berusaha menenangkannya. Bagian belakang celana si adik melembung. Si kakak membenarkan adiknya itu berak di sana tetapi ia membelanya dengan berkata si adik sedang sakit perut dan mereka tak bisa masuk ke kamar karena kamar mereka dikunci. Kunci yang biasanya mereka pegang kali itu terbawa oleh orang tua mereka.
Di detik si lelaki dewasa menyadari si adik itu berak, pikiran seperti ini melintas di benaknya: Ingin rasanya saya membawa parang, memotong kaki dan tangan mereka satu per satu, dan membuat mereka cacat seumur hidup. Sebuah pengakuan yang terang-terangan; sebuah kejujuran yang menunjukkan karakter si lelaki dewasa yang mudah terganggu, mudah membenci, bahkan mudah sakit hati. Karakternya yang seperti inilah yang membuat tingkah konyol kekanak-kanakan yang dilakukannya seperti di penggambaran di awal tadi mungkin terjadi, secara alamiah. Karakternya yang seperti ini, digabungkan dengan motif-motif tadi, semakin menambah kadar alamiahnya.
Kiranya inilah salah satu kehebatan Budi Darma yang menjadikan cerita-cerita yang ditulisnya mudah membekas di benak pembaca, meninggalkan kesan yang tak-biasa dan membuat pembaca terdorong untuk merenungkannya lebih jauh, lebih dalam, seolah-olah cerita-cerita itu adalah cermin dan sejumlah hal yang tersaji padanya adalah pantulan dari diri si pembaca, sesuatu yang mungkin selama ini tidak ia sadari.
Katakanlah kita berada pada situasi si lelaki dewasa tadi. Akankah kita kesal dengan tingkah dua anak itu juga orang tua mereka? Akankah kita melakukan hal yang sama dengan si lelaki dewasa atau setidaknya berpikir ke arah sana? Budi Darma menggiring pembaca ke sebuah jaring di mana di sana ia terjebakbahkan terdesakuntuk memunculkan sisi-sisi gelapnya, pikiran-pikiran gelapnya, dan aktivitas menggiring ini dilakukannya secara halus sehingga pembaca bisa jadi tidak menyadarinya dan mengira mereka menuju dan akhirnya terjebak di jaring itu karena perbuatan mereka sendiri, karena pilihan mereka sendiri.
Dan sekali lagi mesti diingat, karakter si lelaki dewasa yang dipilih Budi Darma adalah karakter yang sangat natural dan manusiawi, yang di dalamnya termasuk senantiasa dirongrong oleh sisi gelap, oleh pikiran-pikiran gelap. Kejujuran untuk mengakui bahwa kita manusia “cacat”, dan selanjutnya menerimanya sebagai konsekuensi dari menjadi manusia. Inilah kiranya yang membuat cerita-cerita Budi Darma dengan sendirinya begitu diperhitungkan oleh pembaca.
Di cerita berjudul “Orez”, masih di buku yang sama, Budi Darma menghadirkan sesosok perempuan yang begitu mencemaskan bayi yang dikandungnya–lebih tepatnya anak yang kelak akan dilahirkannya. Perempuan ini bernama Hester, dan ia memiliki semacam penyakit yang dicurigainyalebih tepatnya dicurigai ayahnyadiperolehnya dari ibunyaalmarhum. Selain Hester, orangtuanya sebenarnya memiliki sejumlah anak lain, tetapi mereka semua mati karena terlahir cacat dan tidak bisa bertahan hidup dengan kecacatannya itu. Ibunya Hester sendiri diinformasikan mati bukan karena penyakit atau apa, tetapi rasa malu yang kelewat kuat.
Dari hal tersebut mudah dimafhumi kecemasan Hester yang kelak begitu mengganggunya saat ia mengandung Orez. Ini bukan kali pertama ia mengandung; sebelumnya ia telah mendapati perutnya membesar dan sesosok makhluk mungil berdiam di dalamnya namun kemudian si makhluk mungil ini tak sempat melihat dunia sebab Hester mengalami keguguran. Itu terjadi tiga kali. Mengandung Orez bukanlah sesuatu yang diharapkannya. Ia dan suaminya–si aku-penutur–seperti sudah putus asa dan berharap mereka bisa menikmati sisa hidupnya sebagai sepasang suami-istri saja.
Kecemasan yang mendera Hester sampai membuatnya berpikir untuk menggugurkan kandungannya itu, secara paksa, hanya saja ia terbentur aturan perundang-undangan negara bagian Indiana yang saat itu melarang aktivitas tersebut. Hester tidak menyerah; ia mencari-cari negara-negara bagian yang belum menetapkan aktivitas pengguguran tadi sebagai sesuatu yang dilarang. Suatu ketika ia bahkan terbang ke Chicago, seorang diri, namun sayangnya ia pulang dengan tangan hampa.
Tidak berhenti di situ, Hester justru melakukan hal-hal ekstrem untuk mencegah bayi di dalam perutnya itu terlahir. Di kamar mandi ia meloncat-loncat dari satu tempat ke tempat lain seperti dari meja wastafel ke bak mandi, barangkali dengan harapan di satu titik ia terpeleset dan perutnya yang membuncit itu membentur benda padat dan ia pun keguguran. Kalau saja suaminya tak mengintipnya dan memergoki tingkah-tak-biasanya ini, dan kalau saja lelaki itu tak lekas mendobrak kamar mandi dan mencegah Hester melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi, perempuan itu mungkin masih akan terus melakukannya, sampai apa yang diharapkannya itu terjadi.
Kali lain, di suatu siang, dari balik jendela kamar Hester melihat anak-anak tengah bermain bisbol di lapangan rumput. Malam harinya, ia mengemukakan kepada suaminya pikiran-pikiran aneh, pikiran-pikiran gelap, seperti soal bagaimana jika seorang perempuan yang tengah hamil tua kebetulan berada dalam situasi itu dan pemukul bisbol itu terlempar dengan sangat kuat mengenai perutnya; atau jika bukan pemukul bisbol, bola bisbol itu sendiri. Hester tentu membayangkan si perempuan hamil itu adalah dirinya, dan kejadian nahas tersebut menimpanya. Dan ia tidak berhenti di situ.
Setelah mengemukakan semua itu Hester tiba-tiba melompat dan ia berdiri di tepi tempat tidur, membuka bajunya, mempertontonkan perutnya yang besar, lantas meminta suaminya meninju perutnya itu, sekuat tenaga. Si suami menolak, tetapi Hester justru meminta hal-hal lain, yang jauh lebih tak masuk akal dan tentu saja ditolak si suami.
Pertama, Hester berbaring di lantai menghadap ke suaminya, dan ia meminta suaminya menendang-nendang perutnya itu seakan-akan perutnya itu adalah bola sepak. Kedua, ia berbaring menelentang dan meminta suaminya menjadikan perutnya itu pijakan lompat jauh. Ketiga, masih dalam posisi berbaring menelentang, ia meminta suaminya menduduki perutnya yang besar itu layaknya kuda rode.
Tingkah Hester yang tidak biasa ini menunjukkan betapa ia dikuasai oleh pikiran-pikiran gelapnya, oleh sisi-sisi gelapnya, kendati ia seorang perempuan dewasa, seorang manusia dewasa. Budi Darma menonjolkan hal ini. Sesosok manusia dewasa di tangan Budi Darma seperti sebuah produk yang rusak, yang dari segi tampilan terkategorikan oke tetapi di dalam dirinya sesuatu yang buruk terjadi, dan tumbuh. Tidak ada upaya keras dari si tokohHesterdalam merepresi pikiran-pikiran gelapnya ini, sisi-sisi gelapnya ini; justru ia membiarkannya terus tumbuh hingga ide-ide menggelikan-cum-membikin-ngilu soal perut besarnya itu pun bisa muncul di benaknya. Tetapi lagi-lagi, seperti halnya di kasus Keluarga M tadi, Budi Darma menghadirkan terlebih dahulu motif, latar kuat yang menjadikan kecemasan tingkat tinggi dan tingkah tak biasa Hester ini terkesan alamiah. Dan pembaca pun, dengan sendirinya, akan memafhuminya, kemudian menerimanya.
Sejauh ini kita bisa menyimpulkan setidaknya tiga hal terkait karakterisasi Budi Darma dalam cerita-ceritanya di Orang-Orang Bloomington itu. Pertama, seorang manusia dewasa pastilah memiliki sisi gelap atau sisi kanak-kanak dan hal ini yang ditonjolkan di cerita. Kedua, batas-batas yang berkaitan dengan norma atau agama atau hukum seperti tak digubris; sisi gelap atau diri kanak-kanak si tokoh dimunculkan hingga ke titik ekstrem yang membuatnya kehilangan simpati dari pembacaatau tokoh-tokoh lain. Ketiga, si tokoh memiliki cara-cara autentiknya sendiri dalam mewujudkan sisi gelap atau diri kanak-kanaknya ini; cara-cara tak biasa yang membuat pembaca kemudian mudah mengingatnya, dan dibat terkesan olehnya.
Katakanlah tiga hal terkait karakterisasi ini adalah strategi yang dipakai Budi Darma untuk membuat cerita-ceritanya itu membekas kuat di benak pembaca, dan kiranya ia berhasil. Tapi sebagai pembaca yang jeli kita tentu menduga Budi Darma tidak berhenti di situ. Ia, mestilah, memaksudkan strateginya ini sebagai sebuah respons atas sesuatu hal yang didapatinya di dunia nyata. Semacam kritik atas sesuatu hal tersebut. Katakanlah begitu.
Dan bisa jadi yang coba dikritik Budi Darma adalah individualisme, lebih tepatnya realitas yang cenderung menguatkan individualisme hingga ke titik ekstremnya. Tokoh-tokoh yang dibahas tadi, misalnya, digambarkan sebagai orang-orang yang individualistis; mereka menghuni sebuah kawasan bersama orang-orang lain tetapi tak sedikit pun dicitrakan bahwa mereka memiliki semacam ikatan komunal atau sosial yang kuat dengan orang-orang itu. Dan kalaupun tokoh-tokoh ini tidak hidup sendiri, dan kalaupun mereka sewaktu-waktu berinteraksi dengan orang-orang lain di sekitarnya itu, tetap saja, individualisme mereka terasa kuat. Terasa benar-benar kuat. Mereka dalam arti tertentu adalah orang-orang yang membiarkan dirinya terkurung di sebuah realitas individual yang sempit. Menariknya, realitas ini sesungguhnya tidak terpisah dan ataupun terisolasi dari realitas sosial yang sangat luas.
Dan tak pelak lagi keterkurungan ini membuat mereka rentan dikuasai sisi gelap mereka. Memang mereka telah dewasa tetapi itu tak menjamin mereka bisa menjaga dirinya tetap waras setiap saat, terutama saat dihadapkan pada hal-hal yang membuat mereka stres, kesal, atau muak. Kedewasaan seakan-akan tak berarti apa-apa ketika individualisme telah terlampau kuat. Kedewasaan hanya serupa cangkang, sedangkan individualisme yang telah terlampau kuat itu menekan habis kewarasan seseorang dan membiarkan ketidakwarasannya menggantikannya. Ini berarti, kendati seseorang secara fisik terlihat dewasa, ia sesungguhnya tidak bisa dipercaya; ia tidak bisa sepenuhnya diberi keleluasaan untuk menentukan sikap dan perbuatannya. Itu karena individualisme yang telah terlampau kuat senantiasa menahannya dari menjadi dirinya yang benar-benar dewasa, yang dewasa bukan saja secara fisik tetapi juga secara psikis.
Sedikit-banyak, keraguan ini mengingatkan kita kepada pandangan Yuval Noah Harari soal individualisme. Dalam buku-bukunya yang terkenal itu Harari menjelaskan betapa anggapan bahwa individu mengetahui apa yang terbaik baginya sesungguhnya keliru. Memang peradaban manusia secara umum pernah berada pada fase itu di mana kita mulai berpaling dari sosok-sosok gaib seperti tuhan atau dewa dan menjadikan diri kita sebagai subjek, sebagai sosok yang menentukan takdir kita sendiri, tetapi Harari meyakini bahwa fase ini sudah terlewati sebab kini manusia semakin lebih memercayai apa yang dikatakan oleh algoritma ketimbang diri mereka sendiri. Dan Harari tidak melihat ini sesuatu yang negatif; justru ia cenderung mendukungnya, sebab di tingkat praktis ia mendapati hal ini sangat bergunadi bidang kesehatan, misalnya. Individualisme memiliki celah. Itulah intinya. Dan ketika individualisme telah terlampau kuat dan membuat seseorang terkurung di dalam realitas individual yang sempit, celah itu jelas terlihat. Dari sanalah hal-hal negatif bermunculan, termasuk sisi gelap manusia yang mendesak ke permukaan dan membuat seorang manusia dewasa menjadi kekanak-kanakan dan kehilangan kewarasan.
Dan itulah kiranya yang coba digambarkan Budi Darma dalam cerita-ceritanya di Orang-Orang Bloomington itu. Ingat bahwa cerita-cerita tersebut menghadirkan realitas di Amerika Serikat sebagai latar, dan kita tentu tak bisa memungkiri bahwa realitas yang dimaksud di sini adalah realitas di mana orang-orang telah menjadi semakin individualistis dan seakan-akan tak lagi terhubung sebagai sebuah komune–mereka hanya ada di suatu kawasan yang sama namun tidak pernah merasa terikat atau terhubung satu sama lain.
Budi Darma mungkin tidak secara gamblang mengatakan bahwa tokoh-tokoh utama di cerita-ceritanya itu terjebak pada individualisme yang akut, tetapi kita bisa merasakannya. Kita bisa merasakannya. Bukan saja mereka merasa tidak terikat dan terhubung dengan orang-orang lain di sekitarnya, mereka pun cenderung tidak memercayai orang-orang tersebut, dan mereka akhirnya terjebak pada semacam keterasingan yang akut yang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan menguatnya sisi gelap mereka. Individualisme dan sisi gelap manusia; Budi Darma mencoba mengurai benang-benang kusut yang menghubungkan keduanya, menjadikannya cukup jelas untuk bisa kita tangkap dengan mata telanjang kita. Dan ketika kita sudah bisa menangkapnya dengan cukup jelas, kita kemudian diarahkan untuk bertanya-tanya apa kira-kira yang membuat seseorang bisa terjebak pada individualisme yang akut.
Terkait hal ini, kita bisa mencoba mengaitkannya dengan konsep keterasingannya Karl Marx, yang berarti kita memosisikan individualisme akut itu sebagai dampak negatif dari realitas kapitalistik. Tetapi Budi Darma, paling tidak di cerita-ceritanya itu, tidak secara kentara menunjukkan keterkaitan yang satu ini. Atau kita mungkin bisa menafsirkannya seperti ini: dengan tidak menunjukkan secara kentara keterkaitan antara kapitalisme dan individualisme, Budi Darma mencoba mengingatkan kita bahwa kapitalisme telah sangat mengendalikan kita sampai-sampai kita tak lagi merasa dikendalikan olehnya, dan karena itulah kita kerap gagal mengatasi persoalan-persoalan seperti mengakutnya individualisme ini sebab kita tak sedikit pun terpikir untuk menyentuh akar persoalannya yang sebenarnya–kapitalisme itu.(*)
Bogor, 2016-2020