Katakanlah ada dua lelaki dewasa yang sama-sama suka menonton sepakbola: A dan B. Sementara A pemilih Jokowi, B justru pemilih Prabowo. Identitas mereka terkait sikap politiknya ini berseberangan dan mereka cenderung tidak akur jika bertemu dan yang dibahas adalah hasil pilpres. Namun, jika yang dibahas adalah hasil pertandingan sepakbola, mereka relatif akur-akur saja. Mereka bahkan bisa terus membahasnya dengan sangat antusias hingga berjam-jam sambil sesekali ngemil dan tertawa-tawa.
Apa yang kita dapati dari ilustrasi barusan adalah bahwa identitas seseorang tidak tunggal dan kaku. Justru, jamak dan cair. Dua orang lelaki dewasa tersebut memang bisa dikategorikan berseberangan jika identitas yang dilihat adalah identitas terkait sikap politik mereka, namun belum tentu begitu jika yang dilihat adalah identitas-identitasnya yang lain. Kedua lelaki ini bisa saja sama-sama penyuka kucing, atau sama-sama menggandrungi JKT48, atau sama-sama seorang suami dan seorang ayah, atau sama-sama penikmat JAV dan penggila Hitomi Tanaka, atau sama-sama pembaca novel-novel Tere Liye dan penonton One Punch Man, atau sama-sama mantan mahasiswa yang baru lulus setelah kuliah tujuh tahun dan pernah kesulitan mendapatkan pekerjaan. Ketika bertemu dan kemudian mengobrol, kedua lelaki ini bisa memilih untuk menonjolkan identitas-identitas yang akan menjaga mereka tetap akur ini, ketimbang identitas terkait sikap politik mereka tadi.
Politik Identitas dan Kesalahan Media Massa
Amartya Sen membahas dengan sangat baik perihal identitas yang sejatinya jamak dan cair ini dalam bukunya, Kekerasan dan Identitas (Marjin Kiri, 2016; diterjemahkan oleh Arif Susanto; edisi kedua). Dan Sen melangkah lebih jauh dengan menguraikan bahwa ada sebuah persoalan sistemik di balik tereduksinya identitas, dan persoalan inilah justru yang semestinya kita amati dan cermati. Misalnya, terkait sikap politik kedua lelaki dewasa tadi, mudah saja bagi kita untuk mengatakan bahwa keduanya berada pada kubu yang berseberangan, dan karena mereka sama-sama teguh dengan pendiriannya maka sampai kapan pun posisi mereka akan seperti itu. Pertanyaannya: (si)apa (saja) yang membuat mereka begitu menonjolkan identitasnya yang berseberangan ini? Pertanyaan lanjutannya: siapa (saja) pihak yang diuntungkan dari situasi ini?
Kita tahu, dalam momen-momen seperti pemilu atau pilpres, realitas cenderung tergambarkan dengan sangat biner: hanya ada dua kubu, hanya tentang menang dan kalah, pertarungan antara yang baik melawan yang jahat. Dan banyak sekali pihak yang terlibat dalam menghadirkan gambaran ini mulai dari oligarki, media massa, hingga influencer atau tokoh masyarakat. Bahwa gambaran seperti ini ditawarkan setiap hari dengan intensitas yang semakin lama semakin tinggi berpotensi membuat kita terjebak di dalam bineritas tadi, membuat kita lambat-laun percaya bahwa realitas ini memanglah biner dan kita mau tak mau harus berdiri di salah satu kutub. Dan ketika kita telah terjebak di dalamnya, pihak-pihak yang terlibat tadi itu akan dengan senang hati menghalangi kita, menyulitkan kita ketika kita mencoba untuk keluar dan melepaskan diri. Terjebaknya kita di dalam bineritas ini, bagaimanapun, adalah sesuatu yang menguntungkan mereka.
Mudah tentunya membayangkan bahwa oligarki akan sangat diuntungkan dengan terjebaknya kita di dalam bineritas. Ketika kita kadung melihat orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita sebagai lawan, oligarki cukup mengistimewakan kita dan menelantarkan orang-orang itu, atau menyatakan keberpihakannya kepada kita namun tidak orang-orang itu, dan dengan sendirinya kita pun memberikan suara kita kepada mereka. Semakin kita terpolarisasi semakin kita tampak berharga di mata oligarki. Dan mereka akan menjaga kita tetap seperti itu, bahkan mengondisikan agar tingkat polaritas kita ini semakin lama semakin tinggi saja.
Hal yang sama berlaku untuk para influencer atau tokoh masyarakat. Asumsikanlah mereka berusaha memanfaatkan popularitas mereka untuk memperoleh sumber daya tertentu sebanyak mungkin, maka menentukan secara terang-terangan keberpihakan kepada salah satu kubu adalah langkah yang strategis. Pasalnya orang-orang di kubu tersebut akan mengikuti mereka dan memperhatikan aktivitas-aktivitas atau ujaran-ujaran mereka, dan itu bisa berdampak pada meluasnya pengaruh mereka. Dan pengaruh ini bisa dikonversikan menjadi sumber daya tertentu tadi, jika mereka cukup kreatif dan cukup oportunis untuk melakukan itu.
Sementara itu untuk media massa, kasusnya sedikit berbeda. Tugas media massa adalah mewartakan fakta namun mereka tahu betul bahwa tidak setiap fakta punya daya tarik yang sama di mata kita; ada fakta-fakta tertentu yang jauh lebih berpotensi menarik perhatian kita dan fakta-fakta inilah yang kemudian kerap dieksploitasidisajikan berulang-ulang atau dielaborasi atau bahkan diolah kembali hingga berkali-kali. Dan dalam situasi di mana kita terjebak pada bineritas dengan tingkat polaritas yang tinggi tadi, fakta-fakta yang menarik tersebut di antaranya adalah fakta-fakta terkait rivalitas kita dengan lawan kita itu, dengan orang-orang yang berada di kubu lain itu. Tentu media massa tidak akan seperti para tokoh masyarakat atau oligarki yang terang-terangan menunjukkan keberpihakan kepada salah satu kubu, tetapi mereka tetap melakukan framing untuk menggiring kita kepada pemahaman tertentu. Dan di sinilah masalahnya: framing yang dilakukan media massa, terlepas dari mereka menyadarinya atau tidak, seringkali malah menguatkan polaritas yang ada.
Contoh konkretnya begini. Pada suatu waktu di sebuah kawasan ada perusakan fasilitas umum yang berkenaan dengan identitas keagamaan. Kawasan ini heterogen, sebenarnya, dalam arti identitas keagamaan orang-orang yang tinggal di sana sangat beragam. Namun tentu ada yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang lain yang berarti ada mayoritas dan ada minoritas. Dan media massa, seringkali, langsung mengaitkan mayoritas-minoritas ini, secara linear, dengan perusakan fasilitas umum tadi.
Kendati sekilas terlihat masuk akal, pengaitan tersebut sesungguhnya dilakukan secara gegabah dan tergesa-gesa, dan melewatkan hal-hal penting. Misalnya, sejauh mana identitas keagamaan dan relasi mayoritas-minoritas mampu mendorong seseorang untuk merusak fasilitas umum yang identik dengan umat agama tertentu? Bagaimana juga dengan identitas-identitas lain yang tentunya dimiliki oleh tiap-tiap orang di kawasan tersebut, terutama identitas-identitas yang mengaburkanbahkan menihilkanrelasi mayoritas-minoritas tadi? Media massa semestinya menggali hingga ke lapisan ini untuk kemudian menawarkan kepada kita sebuah pembacaan yang lebih masuk akal dan komprehensif, dan di saat yang sama memoderasi kita, mengingatkan kita bahwa realitas tak pernah biner dan linear, bahwa kita semestinya tak terjebak di dalam sekat-sekat yang kokoh dan kaku. Perusakan fasilitas umum tadi, misalnya, bisa saja pada kenyataannya lebih didorong oleh kecemburuan sosial yang berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan atau kondisi finansial yang tak begitu baik atau persoalan-persoalan klasik seperti kelompok tertentu mencari masalah dengan kelompok lain dalam upaya menunjukkan eksistensi dan kekuatanhal-hal yang tidak bisa begitu saja kita kaitkan dengan identitas keagamaan.
Contoh konkret lainnya: mengaitkan secara linear identitas keagamaan sebuah masyarakat di sebuah kawasan dengan persentase perolehan suara para paslon di kawasan tersebut. Tentu kedua hal tersebut berhubungan sebab data statistik di lapangan menunjukkan demikian. Tetapi, sejauh mana dan sedekat apa sebenarnya hubungan keduanya ini? Bagaimana juga dengan faktor-faktor lain yang kita temukan ada pada masyarakat tersebut selain identitas keagamaan mereka? Apakah sudah tepat memosisikan identitas keagamaan sebagai faktor yang paling dominan dan signifikan pengaruhnya dalam membentuk sikap politik mereka? Bagaimana jika ternyata, untuk kasus-kasus tertentu, identitas keagamaan justru kalah dominan dibanding faktor-faktor lain itu? Adapun faktor-faktor lain itu sendiri bisa apa saja mulai dari kondisi perekonomian masyarakat, iklim sosial-politik yang membelenggu mereka, kultur atau tradisi setempat, tingkat dan disparitas pendidikan di sana, relasi orang-orang di dalam masyarakat initerutama tokoh-tokoh berpengaruhnyadengan pemerintah pusat, sampai rasa muak yang terlahir dari sesuatu yang sifatnya personal dan romantikterkait dengan narasi sejarah masyarakat ini, misalnya.
Intinya: kita tak bisa begitu saja mengesampingkan faktor-faktor lain dan menghadirkan identitas keagamaan sebagai aktor utama di balik persentase perolehan suara para paslon di kawasan tersebut. Itu sama saja kita mengakui bahwa realitas yang tengah kita hadapi ini memang sebiner itu, sudah sangat sebiner itu. Kalaupun ini dimaksudkan sebagai semacam alarm, untuk mengingatkan kita bahwa persoalan tersebut ada dan kita harus segera melakukan sesuatu untuk mengatasinya, tetap saja ia keliru dalam satu hal: mengajak kita untuk langsung mengaitkan persentase perolehan suara para paslon dengan identitas keagamaan masyarakat; mengajak kita untuk mengabaikan faktor-faktor lain yang bisa jadi lebih berperan dalam membentuk sikap politik masyarakat. Pada banyak kasus, identitas keagamaan ini justru hanyalah sesuatu yang hadir di layar depan saja. Ia muncul setelah persoalan-persoalan lain yang lebih krusialseperti kehidupan yang serbasulit atau maraknya praktik represilebih dulu muncul di layar sebelumnya, dan tak juga berhasil diatasi.
Dan lebih jauh lagi dari itu, yang mana ini terbilang lucu, media massa kerap juga menguatkan polaritas yang ada itu lewat judul. Misalnya: “Perempuan Berbaju Serba Hitam Teriaki Polisi di Thamrin”; “Diduga Provokator, Pria Bertato Ditangkap di Tengah Demo 212”; “Perempuan Bercadar dalam Kerusuhan 22 Mei Diduga Depresi”; “Potret Perusuh di Demo Bawaslu, Pengangguran hingga Pria Bertato, Bagaimana Seorang Kepala Desa dari Kelompok Minoritas Membangun Kerukunan Beragama”.
Perhatikan bahwa judul-judul tersebut seolah-olah mengajak kita untuk mengaitkan secara linear dua hal yang sesungguhnya tidak benar-benar saling berhubungan satu sama lain—perempuan berbaju serbahitam dan meneriaki polisi, pria bertato dan aksi provokasi, perempuan bercadar dan depresi, penganggur dan perusuh, kelompok minoritas dan kerukunan beragamadan seakan-akan meminta kita untuk mengabaikan hal-hal lain yang lebih mungkin terhubung secara kuat dengan persoalan yang diketengahkan. (Lagi-lagi kesalahan yang sama!) Terus digempur judul-judul seperti ini, jika pertahanan diri kita tidak cukup kuat, bisa saja lama-lama kita kalah juga; kita jadi mengaitkan kedua hal tersebut secara linear dan ini malah membuat kita menjadi biner. Padahal, mestinya media massa justru memoderasi kita dan mencegah kita dari menjadi biner, atau mengeluarkan kita dari jebakan bineritas seandainya kita telah terjebak di dalamnya.
Amartya Sen dalam bukunya tadi membahas juga hal ini. Ketika sebuah identitas diidentikkan begitu saja dengan sebuah persoalan, ada ketersesatan di situ, sebab upaya-upaya untuk mengatasi persoalan ini akan terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan identitas ini saja. Dan sebagai efek sampingnya polaritas itu pun menguat, menjadi lebih kentara lagi daripada sebelumnya. Misalnya, saat identitas seseorang sebagai minoritas dihubungkan dangan upaya membangun kerukunan beragama, di situ kita secara tidak sadar mengakui bahwa posisi minoritas sejatinya memang tidak menguntungkan dan identitas yang satu ini begitu menentukan jauh melebihi identitas-identitas lain.
Identitas dan Kesadaran
Sekarang mari kita kembali ke dua lelaki dewasa di ilustrasi di awal tadi. Katakanlah, mereka kembali membahas hasil pilpres dan karena masing-masing bersikeras menonjolkan identitasnya sebagai pemilih Jokowi dan pemilih Prabowo maka mereka terus saja berselisih paham. Dan saking ditonjolkannya identitas terkait sikap politik ini, realitas di mata mereka menjadi hitam-putih, menjadi biner, menjadi terpolarisasi dengan sangat ekstrem.
Dan bayangkan mereka memantau perkembangan demo-demo penolakan hasil pilpres baik itu lewat televisi, media massa, maupun media sosial. A, sebagai pemilih Jokowi yang terlampau menonjolkan identitasnya ini, akan menilai negatif segala hal yang dilakukan oleh Prabowo dan para pendukungnya; di sisi lain ia menilai positif segala hal yang dilakukan oleh Jokowi dan para pendukungnya. B tentu sebaliknya: menilai positif segala hal yang dilakukan oleh Prabowo dan para pendukungnya, dan menilai negatif segala hal yang dilakukan oleh Jokowi dan para pendukungnya. Ketika kemudian tersiar kabar bahwa ada korban tewas di pihak para pendemo, B langsung menghakimi Jokowi; ia tidak mau repot-repot mencaritahu seperti apa kejadian yang sebenarnya dan langsung meyakini bahwa tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan Jokowi. A, di sisi lain, merasa enggan bahkan tak sudi berbela sungkawa dan melihat tewasnya korban ini sebagai konsekuensi belaka dari apa yang dilakukannya; dan ia pun cenderung bisa memafhumi langkah represif yang diambil Jokowi dan aparat; dan ia melihat Prabowo sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab atas hal ini.
Itu sungguh memilukan. Seseorang kehilangan nyawa dan tragedi ini diposisikan sebagai sesuatu yang tak lebih penting daripada rivalitas A dan B yang sejatinya semu. A dan B tentu berpikir bahwa mereka melakukan apa yang mereka anggap benar. Dan mereka pun tentunya berpikir: mereka melakukannya secara sadar, dalam keadaan sepenuhnya sadar.
Tetapi itu sebenarnya keliru: mereka tidak sepenuhnya berada dalam keadaan sadar.
Michael S.A. Graziano, dalam video-esainya untuk TED-Ed yang berjudul “What is Consciousness?”, menjelaskan bahwa seseorang baru benar-benar bisa dikatakan menyadari sesuatu ketika ia menyadari dua hal sekaligus: pertama, ia menyadari sesuatu yang tengah dilakukannya; kedua, ia menyadari bahwa ia tengah melakukan sesuatu itu. Dengan kata lain ia berada di dua posisi berdiri yang dengan ini jangkauan pengelihatan-nya jadi lebih luas, di mana ia tidak hanya melihat apa yang tengah dilakukannya itu sebagai dirinya melainkan juga sebagai orang lain, sebagai bukan-dirinya. Bisa juga dikatakan: ia memosisikan dirinya di dalam apa yang tengah dilakukannya itu sekaligus di luarnya, di dalam situasi yang tengah dialaminya sekaligus di luarnya, di dalam realitas yang tengah dijalaninya sekaligus di luarnya.
Maka, jika memang A dan B sepenuhnya dalam keadaan sadar, mereka akan melihat kasus tewasnya seorang pendemo itu dari dua posisi berdiri: pemilih Jokowi dan bukan-pemilih-Jokowi, pemilih Prabowo dan bukan-pemilih-Prabowo. Ini sedikit-banyak akan membawa mereka pada pemahaman yang lebih baik, sekaligus menarik mereka keluar dari bineritas tadi, dari polaritas yang sangat ekstrem tadi. Dan ini penting, sangat sangat penting, terutama jika A dan B adalah dua orang yang tinggal di kawasan yang sama dan menjalani realitas yang relatif sama dan masih akan mungkin bertemu sewaktu-waktu, di mana mereka bisa bersama-sama melakukan sesuatu yang baik dan berguna bagi banyak orang.
Selama A dan B masih bersikeras memosisikan identitasnya terkait sikap politiknya itu sebagai identitas yang dominan, yang menihilkan identitas-identitasnya yang lain, selama itu pula mereka berada di dalam kesadaran palsu (false consciousness). Dan selama itu pula mereka akan tampak menggiurkan di mata oligarki, juga di mata para influencer atau tokoh masyarakat yang oportunis. Dan selama itu pula mereka rentan dipermainkan media massa, digiring ke sana dan ke sini, dibuat percaya bahwa bineritas dan polaritas di kehidupan yang mereka jalani memang seekstrem itu, bahwa identitas mereka dan tiap-tiap orang sejatinya memang selalu tunggal dan kaku.
Sungguh sangat disayangkan jika A dan B akan terus seperti itu. Dan yang lebih mungkin menolong mereka untuk keluar dari keterjebakan mereka ini bukanlah mereka melainkan kita; kita yang berada dalam keadaan sepenuhnya sadar dan tak terjebak di dalam bineritas itu; kita yang menyadari bahwa identitas tiap-tiap orang itu jamak dan cair dan tidak ada identitas yang selalu dominan di setiap situasi.
Dan kita bisa mulai menolong mereka dari sekarang kalau memang kita peduli kepada mereka. Bagaimanapun, kita dan mereka setidaknya berbagi satu identitas yang sama dan menyatukan kita: bagian dari bangsa Indonesia.(*)
Bogor, 25-27 Mei 2019
Keterangan:
Video-esainya Michael S.A. Graziano bisa disimak di tautan ini: www.youtube.com/watch?v=MASBIB7zPo4&t=1s