Kucing Tidak Tidur di Dalam Kulkas

Yuriko mulai memelihara kucing di apartemen kami tiga bulan sebelum Topan Hagibis melanda Jepang. Ketika itu aku sebenarnya menentang keinginannya sebab pengelola apartemen pasti akan menaikkan harga sewa. Lagipula aku bukan penyuka kucing dan tak pernah memendam keinginan untuk memelihara binatang apa pun. Tapi Yuriko bersikeras. Bahkan ia mengatakan ia sendirilah yang akan menanggung kenaikan harga sewa apartemen seandainya aku memang tidak mau ikut membayarnya. Akhirnya, aku mengalah. Tentu saja kenaikan harga sewa tersebut kami menanggungnya bersama-sama.

Kucing yang dipelihara Yuriko itu sudah cukup besar dan terbilang gemuk. Warna dominannya putih dengan corak-corak hitam di beberapa bagian tubuhnya, mengingatkanku pada sapi-sapi perah di Fuji Milkland. Yuriko mengaku membelinya di sebuah toko hewan peliharaan terkenal di pusat kota namun ia tidak membocorkan harganya; barangkali harganya cukup mahal untuk membuatku menyerangnya dengan pertanyaan demi pertanyaan. Setiap hari ia yang mengurus si kucing, mulai dari mengganti pasir tempat beraknya hingga mengatur jadwal makannya, hingga mengatur juga jadwal mandinya. Yuriko tampak menikmati kehadiran si kucing di apartemen kami. Sering kudapati ia bermain-main dengan si kucing, bahkan mengajaknya bicara tentang tulisan-tulisan yang baru saja ia buat.

Di hari topan ganas itu melanda Jepang, di mana aku terjebak di kantor hingga hampir pukul sembilan malam, Yuriko dan kucing peliharaannya itu menghilang.


Sebagai seorang penulis, Yuriko banyak menghabiskan waktunya di apartemen kami, sendirian, dan ini menjadi alasan tersendiri kenapa aku mengalah dan membiarkannya memelihara kucing. Pasalnya Yuriko tipe orang yang mudah merasa kesepian, sedangkan aku, karena kesibukanku sebagai seorang sarariimanpegawai kantoranjunior di sebuah perusahaan asuransi di pusat kota, hanya bisa menemaninya seharian di akhir pekanitu pun kalau aku tidak kelelahan dan tidak ada tugas kantor yang kubawa pulang. Aku berangkat kerja pagi sekali ketika hari masih sangat dingin, dan biasanya baru tiba di depan pintu apartemen sekitar pukul sembilan malam ketika hari sudah kembali dingin. Jam kerjaku sebenarnya hanya sampai pukul lima sore, tetapi sudah menjadi semacam aturan tak tertulis bahwa seorang sarariiman junior sepertiku tak boleh menolak ajakan minum-minum dari para senpai–senior. Itu adalah bagian dari pekerjaan, meski ketika kau melakukannya kau tak dibayar.

Yuriko tentu memahami kesibukanku ini. Memang ia beberapa kali mengeluh, misalnya dengan mengatakan bahwa ia bagaimanapun seorang perempuan yang mengalami menstruasi tiap bulannya dan itu artinya ada saat-saat di mana ia jadi jauh lebih sensitif daripada biasanya, dan di saat-saat seperti itulah ia membutuhkan perhatianku, juga kehadiranku. Tetapi kami tak pernah sampai bertengkar gara-gara hal ini. Paling-paling, Yuriko akan mengoceh dan mengoceh dan aku yang mengenal tabiatnya membiarkannya sambil berusaha menunjukkan bahwa aku menyimak setiap apa yang ia katakan. Yuriko akan lelah sendiri, dan ia berhenti mengoceh. Untuk sedikit menghiburnya aku biasanya menggantikannya mengerjakan satu-dua pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau membersihkan ofuro–bak mandi.

Dengan adanya si kucing di apartemen kami, Yuriko tidak lagi sendirian. Setidaknya ia bisa bermain-main dengan si kucing kalau ia bosan menulis atau membaca. Bisa juga ia mengobrol dengan si kucing seolah-olah hewan angkuh itu sesosok manusia yang memahami apa-apa yang ia katakan. Pernah, suatu malam, kutanyakan padanya apakah hari-harinya jadi lebih baik dengan memelihara si kucing, dan ia langsung menoleh dan tersenyum lebar dan mengangguk-ngangguk seperti anjing. Ia bilang kehadiran si kucing seperti mengisi salah satu ruang kosong yang selama ini ada di dalam dirinya, yang tak bisa diisi oleh (si)apa puntidak bahkan olehku sekalipun. Aku tak mempermasalahkannya. Aku senang ia terlihat bersemangat dan ceria, mengingat sebelumnya ia cenderung pemurung dan depresif.

Ya, Yuriko memang seorang depresif. Ia sering tiba-tiba begitu diam dan seperti melamunkan sesuatu, atau memikirkan sesuatu yang begitu dalam dan membuatnya gelisah. Suatu hari, di sebuah akhir pekan, aku terbangun cukup siang dan saat memasuki ruang utama kulihat Yuriko sedang berdiri menghadap jendela yang dibiarkannya terbuka, dan ia tak menoleh atau menyahut saat aku menyapanya. Rupanya ia baru saja menangis. Pipinya masih sedikit basah ketika aku mengusapnya. Yang kulakukan saat itu, sebagai seseorang yang tahu betul bahwa ia akan tetap seperti itu hingga beberapa lama, adalah pergi ke dapur dan membuatkannya teh hangat. Yuriko suka sekali teh hijau hangat yang dicampuri sedikit madu.

Setidaknya sejauh apa yang tertangkap oleh mataku, Yuriko tak pernah lagi terlihat murung dan depresif sejak ia memelihara si kucing yang lumayan gemuk itu. Sewaktu-waktu ia akan mengeong-ngeong sendiri menirukan suara si kucing, padahal kucing itu sedang tidur atau tidak sedang berada di dekatnya. Apakah suaraku sudah mirip suara kucing? tanyanya suatu kali, saat aku memergoki tingkah konyolnya itu Aku hanya tersenyum dan menghampirinya, lantas memeluknya, dan memberinya ciuman di pipi. Ia sempat berusaha melengos tetapi aku bergerak cepat. Aku kembali menciumnya di pipi beberapa kali.

Di hari Topan Hagibis itu menghantam Jepang, sebelum berangkat kerja, aku mengatakan kepada Yuriko bahwa aku mungkin akan pulang lebih larut dari biasanya, dan kuminta ia benar-benar tak keluar seharian itu. Aku menciumnya di bibir dan setelah itu ia tersenyum, namun matanya terlihat sayu. Itu adalah ciuman-di-bibir pertama kami dalam lima-enam bulan lamanya. Rasanya begitu aneh, sebab meski ia membalas ciumanku ia melakukannya dengan malas.


Tiga hari sebelum Topan Hagibis itu datang, sekitar pukul setengah sepuluh malam, aku mendapati lembaran-lembaran kertas di meja kerja Yuriko, yang seperti dibiarkan terserak begitu saja. Yuriko rupanya baru menyelesaikan sebuah cerita; ia memang punya kebiasaan mencetak cerita yang telah selesai ditulisnya untuk kemudian ia baca-baca lagi sambil tiduran, berdiri, berjalan, atau yang lainnya. Kali itu Yuriko sedang di ofuro dan, dilihat dari terseraknya kertas-kertas itu, ia mestilah sudah bosan membacanya ulang dan itu berarti ceritanya itu sudah hampir rampung. Kurapikan kertas-kertas itu. Kubawa ke dapur dan kutaruh di meja makan. Setelah mengambil susu cokelat di kulkas dan menuangkannya ke sebuah gelas besar aku duduk di salah satu kursi di meja makan dan mulai membacanya.

Ceritanya itu berjudul “Kucing Tidak Tidur di Dalam Kulkas”. Aku baru menyadari bahwa aku tidak melihat si kucing dan setelah menajamkan pendengaran tahulah aku bahwa Yuriko membawa si kucing mandi bersamanya. Ada-ada saja, pikirku, dan aku sedikit merasa konyol sebab sekonyong-konyong aku jadi membayangkan aku bertukar posisi dengan si kucing. Aku dan Yuriko memang sudah lama tidak mandi bersama. Bahkan, aku tak ingat kapan terakhir kalinya aku melihatnya telanjang.

Di ceritanya yang sepanjang tiga belas halaman itu Yuriko menghadirkan seekor kucing yang ciri-cirinya mirip sekali dengan kucing yang ia pelihara. Si kucing di ceritanya itu sendiri dipelihara di sebuah apartemen oleh seorang perempuan yang baru saja kehilangan pasangannya dalam sebuah tragedi yang ramai diberitakan di media massa. Si perempuan, pasangan si tokoh utama yang memelihara kucing itu, suatu malam dihampiri tiga orang lelaki di sebuah ruas jalan di pusat kota, di mana ia kemudian dibekap dan dimasukkan ke sebuah mobil, dan tiga hari kemudian jasad si perempuan ditemukan teronggok di pinggir sungai jauh di pinggiran kota, dalam keadaan nyaris telanjang dan penuh luka memar di sana-sini, dan ada bekas cekikan-dengan-tangan di lehernya. Hasil penyelidikan dari aparat kepolisian menunjukkan bahwa si perempuan diperkosa secara bergilir oleh setidaknya empat orang laki-laki. Ia dibunuh di hari yang sama dengan hari di mana ia diculik.

Aparat kepolisian telah berhasil menangkap para terduga pelaku dan media massa telah menghakimi mereka dan terus menghakimi mereka, tetapi si tokoh utama yang memelihara kucing itu tak merasa puas. Ia ingin sekali menggorok lelaki-lelaki itu dan menjatuhkan mayat mereka dari rooftop sebuah gedung. Di hari ia merasakan kebenciannya kepada orang-orang yang telah merenggut nyawa kekasihnya itu memuncak, ketika ia sedang berjalan pulang menuju apartemennya, ia melihat seekor kucing. Entah kenapa di detik ia melihat si kucing di benaknya langsung terbersit sosok kekasihnya. Si kucing menatapnya, dan yang dirasakan si tokoh utama tengah menatapnya adalah mendiang kekasihnya itu.

Singkat cerita, si tokoh utama memelihara kucing itu. Ia menamai si kucing dengan nama kekasihnya yang telah tiada itu, dan setiap kali mengajak si kucing bicara ia bayangkan ia tengah bicara dengan perempuan itu. Ia mengajak si kucing berendam di ofuro bersamanya sebelum makan malam. Ia memeluk dan mengelus-elus si kucing di tempat tidur hingga akhirnya si kucing kesal sendiri dan beranjak pergi. Sewaktu-waktu, ketika cuaca sedang baik, ia membawa si kucing jalan-jalan; mengitari taman, menyisir sungai, mengejar-ngejar katak. Kehadiran si kucing sedikit-banyak melemahkan kegelapan di dalam dirinya. Ia bahkan seperti telah lupa bahwa si perempuan yang dicintainya itu meninggalkan dunia ini dengan cara yang keji.

Suatu hari, si tokoh utama mendapati ada yang aneh dengan kucing peliharaannya itu. Si kucing terlihat lebih malas dari biasanya, dan tak merespons berapa kali pun ia memanggilnya. Si tokoh utama segera memeriksakan si kucing ke dokter hewan dan ia diberitahu bahwa kucingnya itu mungkin baru saja mengalami sesuatu yang membuatnya trauma, seperti dipukuli, ditendang-tendang, atau yang semacamnya. Penjelasan ini tak membantunya. Pasalnya si tokoh utama memelihara si kucing dengan baik dan tak pernah mengasarinya sedangkan si kucing sendiri tak pernah dibiarkannya berkeliaran di luar tanpa ditemani olehnya.

Beberapa hari berlalu dan tingkah-laku si kucing justru semakin membuatnya cemas. Suatu siang, misalnya, didapatinya si kucing sedang tidur di bak cuci piring dengan tetesan-tetesan air dari keran jatuh tepat di perutnya. Kali lain, ketika ia hendak menutup pintu kulkas yang dibiarkannya terbuka beberapa puluh detik, ia terkaget-kaget mendapati si kucing sedang berbaring di dalamnya, dan ia bisa mendengar dengan jelas dengkuran si kucing. Segera ia mengeluarkan si kucing dan memindahkannya ke tempat tidur. Dengan hairdryer ia berusaha membuat suhu tubuh si kucing kembali normal.

Kucing peliharaannya itu akhirnya mati. Suatu pagi, saat sedang menuju kamar mandi untuk menggosok gigi, ia mendapati si kucing tergeletak kaku di depan kulkas. Mungkin si kucing ingin tidur lagi di dalam kulkas. Begitu si tokoh utama berpikir. Selama beberapa hari sebelumnya, si kucing memang berkali-kali menghampiri kulkas dan seperti meminta Yuriko membukakan pintunya. Tentu ia tak memenuhi permintaan si kucing. Tidak satu kali pun.

Cerita yang ditulis Yuriko berakhir di situ. Aneh, jujur saja. Dan malam itu, setelah Yuriko keluar dari ofuro, aku tanyakan padanya apa yang berusaha dikatakan ceritanya ini. Tapi Yuriko tak menjawab. Ia memang sempat menoleh namun segera melengos dan berjalan ke ruang utama. Di sana, ia sibuk menghanduki si kucing sambil terus mengajaknya bicara.


Di hari Topan Hagibis menghantam Jepang, aku terjebak di kantor bersama ratusan orang lainnya. Di luar angin bertiup kencang sekali; saking kencangnya beberapa mobil di parkiran terlihat bergoyang-goyang dan bergoyang-goyang. Di Instagram, orang-orang menyiarkan apa yang sedang mereka lihat di depan mata mereka sendiri: tiang-tiang listrik yang roboh, atap-atap gedung yang terkelupas, sebuah mobil boks yang terseret angin dan terguling. Aku berusaha menghubungi Yuriko berkali-kali namun tak juga ada respons darinya. Padahal pesan-pesanku itu mestilah sampai. Panggilan-panggilanku pun tak ada yang teralihkan ke mailbox atau yang semacamnya.

Malam harinya, sekitar pukul sebelas, aku akhirnya tiba di apartemen. Seperti yang kuduga kondisi apartemen berantakan: beberapa piring pecah dan sejumlah perabotan tidak berada pada posisinya. Dan ternyata Yuriko tak di sana. Begitu juga kucingnya itu. Dua hal ini di luar dugaanku, dan karenanya aku gusar. Aku sempat mencoba menghubungi Yuriko lagi berkali-kali sampai akhirnya aku kesal dan frustrasi. Malam itu, aku merapikan apartemen seorang diri. Aku baru bisa berendam di ofuro sekitar pukul satu malam.

Besok harinya dan besok harinya lagi aku masih mencoba menghubungi Yuriko. Dan hasilnya sama saja: aku kesal dan frustrasi. Mau tak mau aku jadi berpikir jangan-jangan ada yang salah dengan kebersamaan kami selama ini, terutama sejak si kucing itu hadir di apartemen kami, namun aku tak juga menemukan sesuatu yang salah itu apa. Yuriko pergi, entah ke mana, dan ia membawa si kucing, lengkap dengan segala hal yang berkaitan dengan si kucing. Anehnya ia tak membawa laptopnya. Bahkan bisa dibilang, nyaris segala hal yang berkaitan dengannya masih ada di kamar apartemen kami, dalam keadaan baik-baik saja. Seolah-olah Yuriko bukan sekadar pergi, tetapi lenyap. Dan kini yang bisa kulakukan hanyalah menunggunya. Hanya itu.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *